Rabu, 04 November 2009

Pertemuan 6-7 MPS

ELEMEN DASAR RISET
A.
Konsep dan Konstruk
Konsep adalah abstraksi yang dibuat dengan mengeneralisasikan hal-hal yang khusus. Contoh konsep adalah prestasi. Prestasi adalah abstraksi yang terbentuk dari observasi tentang perilaku-perilaku tertentu pada seseorang. Perilaku itu terkait dengan penguasaan dan pengetahuan seseorang dalam mengerjakan soal hitung, mengeja kata-kata, membuat gambar, dan sebagainya. Berbagai perilaku yang teramati kemudian digolongkan menjadi satu dan diungkapkan dengan satu istilah atau nama “prestasi”. Kampus adalah konsep yang mewadahi atau menunjuk pada misalnya gedung, dosen, mahasiswa, ruang kuliah, matakuliah dan seterusnya.
Konsep dengan demikian merupakan symbol atau istilah yang menunjuk pada suatu pengertian tertentu. Konsep bersifat abstrak tetapi menunjuk pada sesuatu yang konkrit. Abstraksi suatu konsep itu bertingkat-tingkat, ada yang abstraksinya sangat tinggi, dan ada yang rendah. Misal, “minat” adalah suatu konsep yang sukar dicarikan hal-hal konkrit sebagai penunjuknya, tetapi “kursi” merupakan konsep yang sangat mudah dihubungkan dengan hal-hal yang konkrit, karena kita mudah mengamati ada kursi model sofa, kursi goyang, kursi putar, kursi malas, dan berbagai bentuk dan jenis kursi lainnya. Konsep yang tingkat abstraksinya tinggi inilah yang dinamakan konstruk atau konsep nominal.
[1]
Memperhatikan definisi tentang konsep seperti dikemukakan di atas, nampak bahwa konsep itu terbentuk melalui proses induktif, yaitu bertitik tolak pada gejala-gejala pengamatan. Proses memberikan konsep pada gejala-gejala yang diamati itulah yang disebut dengan “konseptualisasi”.

B. Variabel, Indikator Empiris dan Definisi Operasional
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa konseptualisasi adalah proses memberi konsep pada gejala-gejala yang diamati. Konsep bersifat abstrak tetapi menunjuk pada objek-objek tertentu yang konkrit. Obyek yang konkrit itu bersifat individual, yang berbeda satu dengan yang lain. Taruhlah misalnya kita mengamati orang-orang yang kita jumpai, maka tidak ada dua orang yang sama persis di antara mereka. Setiap orang berbeda dengan yang lain. Mereka dapat dibedakan dengan nama masing-masing. Ada yang bernama Ananta, Fikri, Yazdi, Mehdi, dan sebagainya. Tetapi baik Ananta, Fikri, Yazdi maupun Mehdi semuanya adalah manusia. Jadi, manusia adalah konsep, dan konsep itu tidak hanya menunjuk pada Ananta, Fikri, Yazdi dan Mehdi, tetapi juga pada orang lain yang mempunyai kemiripan dengan mereka.
Sifat dari obyek-obyek yang berbeda-beda itu adalah :
1. Mempunyai ciri umum yang sama yang membuat mereka mirip satu sama lain sehingga semuanya dapat ditampung dalam satu definisi
2. Setiap obyek berbeda masing-masing mempunyai ciri tersendiri yang membedakannya dengan obyek lain. Perbedaan itulah yang membuat obyek-obyek itu bervariasi, karena itu disebut variabel.
3. Perbedaan-perbedaan pada tiap obyek terletak pada ukuran masing-masing, baik ukuran yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Karena ukuran yang berbeda-beda itulah maka konsep itu disebut variabel
Secara singkat dapat didefinisikan bahwa variabel merupakan konsep yang mempunyai variasi nilai. Misal, kerajinan belajar mahasiswa dapat dilihat pada banyaknya waktu yang dipakai mahasiswa setiap minggunya untuk mempelajari matakuliahnya. Apabila tolok ukur ini diterapkan pada setiap mahasiswa akan tampak variasi dalam penggunaan waktu setiap mahasiswa. Anto mempergunakan 20 jam, Lulu mempergunakan 15 jam, Fira memanfaatkan 25 jam dan seterusnya. Oleh sebab itu, kerajinan belajar adalah variabel. Contoh lain dari variabel adalah pekerjaan penduduk di sebuah desa. Ada petani, peternak, buruh bangunan, pedagang, dan sebagainya. Karena ada berbagai macam pekerjaan, maka pekerjaan penduduk merupakan variabel.
Suatu konsep disebut variabel manakala menampakkan variasi pada obyek-obyek yang ditunjukkannya.

Di antara konsep yang abstrak dan obyek-obyek individual yang konkrit terdapat suatu penghubung yang menunjukkan obyek mana yang dapat dimasukkan ke dalam konsep yang bersangkutan. Konsep “mahasiswa”, misalnya. Siapa saja yang dapat digolongkan ke dalam konsep ini? Apakah A yang belajar di MAN termasuk dalam konsep ini, atau B yang bekerja di sebuah kantor atau C yang mengajar di sebuah SD? Kita membutuhkan suatu petunjuk untuk melakukan tugas tersebut. Misalkan, orang yang telah terdaftar untuk mengikuti perkuliahan di suatu Perguruan Tinggi dapat diketahui dari kartu mahasiswanya yang masih berlaku. Dengan kartu mahasiswa itu dapat diketahui siapa saja yang dimaksud dengan mahasiswa. Dalam konteks ini kartu mahasiswa itu disebut indicator empiris (variabel) terhadap konsep mahasiswa.
Indikator empiris atau variabel sifatnya harus dapat diamati. Suatu indicator empiris belum tentu dapat menunjukkan seluruh makna yang terkandung dalam konsep tertentu. Contoh, indicator sepeda adalah “kendaraan roda dua”. Bukankah ada juga sepeda roda tiga, dan ada juga kendaraan roda dua yang bukan sepeda? Jadi, indicator tersebut belum seluruhnya menangkap konsep “sepeda”. Oleh sebab itu, sebuah konsep dapat memiliki lebih dari satu indicator empiris. Dengan indicator empiris itu, kemudian dapat dibuat rumusan variabel secara operasional.
Definisi operasional adalah memberikan arti pada suatu konsep atau variabel dengan cara menetapkan kegiatan-kegiatan atau tindakan-tindakan yang perlu untuk mengukur konsep atau variabel itu.
[2] Definisi operasional dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat befungsi sebagai petunjuk untuk menemukan data yang tepat dalam dunia empiris. Misalkan kita melihat empat buah bilangan, yaitu 2, 4, 6, dan 8. Memang ke empat bilangan itu adalah bilangan genap tetapi tidak semua bilangan genap tersebut termasuk dalam pengamatan kita. Definisi yang tepat untuk pengamatan 2, 4, 6 dan 8 adalah “bilangan kelipatan dua di bawah 10”. Dengan definsi itu maka tidak ada yang lain kecuali 2, 4, 6 dan 8.
Definisi operasional suatu variabel tidak boleh dirumuskan dalam bentuk sinonim. Kalau definisi variabel kerajinan belajar dirumuskan sebagai “kerajinan belajar adalah ketekunan mahasiswa untuk mempelajari bahan kuliah”, maka di sini terdapat dua istilah sinonim yaitu kerajinan dan ketekunan. Seharusnya istilah ketekunan berfungsi sebagai penjelas bagi kerajinan, karena itu ia bukan konsep tetapi indicator. Istilah kerajinan harus diterangkan dengan indicator. Ciri dari indicator adalah teramati dan terukur. Dengan menggunakan indicator tersebut kita merumuskan variabel kerajinan belajar sebagai berikut: “kerajinan belajar mahasiswa adalah banyaknya waktu yang diukur dalam jam per mingggu yang dipergunakan oleh mahasiswa untuk membaca bahan-bahan yang relevan dengan program studinya”. Di sini kegiatan membaca adalah indicator, dan jumlah jam adalah pengukuran.
Tampak jelas bahwa definisi operasional variabel atau konsep berbeda dengan definisi yang ditemukan dalam buku teks atau dalam kamus. Definisi dalam textsbook atau kamus disebut dengan definisi nominal atau konstitutif.
C.
Jenis-jenis Variabel
Apabila dilihat dari fungsinya, maka variabel penelitian ada dua macam yaitu variabel independen (variabel bebas) dan variabel dependen (terikat). Suatu variabel disebut dependen atau variabel terikat jika nilai atau harganya ditentukan oleh satu atau beberapa variabel lain. Dalam hubungan ini variabel lain itu disebut variabel independen atau variabel bebas. Sebagai contoh, hubungan antara permintaan dan harga dalam hukum permintaan berbunyi: jika harga suatu barang naik (turun), maka permintaan terhadap barang itu akan turun (naik). Permintaan adalah variabel dependen, dan harga merupakan variabel independen. Kekerasan televisi menimbulkan perilaku agresif pada penontonnya, maka Kekerasan televisi merupakan variabel independen, sedangkan perilaku agresi adalah variabel dependen. Jika kita mengkaji relasi antara kecerdasan atau inteligensi dengan prestasi sekolah, maka kecerdasan merupakan variabel bebas dan prestasi variabel terikatnya. Umumnya relasi antar variabel bebas dan terikat menggunakan penjelasan sebab-akibat, atau korelasional.
Jika dilihat dari skala nilai, maka ada variabel kontinu dan variabel kategoris. Jika suatu variabel hanya bisa diukur dengan bilangan deskrit atau kategoris maka disebut dengan variabel kategoris.sedangkan jika dapat diukur dengan bilangan kontinu, namanya adalah variabel kontinu. Jumlah orang adalah variabel kategoris karena hanya dapat diukur dengan bilangan bulat seperti 1, 2, 3 dan sebagainya. Agama, pekerjaan, jenis kelamin, adalah contoh lain dari variabel kategoris. Variabel berat, panjang, umur termasuk variabel jenis kontinu karena dapat diukur dengan bilangan real seperti 1,12; 2,045 dan sebagainya
Sementara jika dilihat dari perlakuan terhadap variabel, maka dijumpai adanya variabel aktif dan variabel atribut. Variabel aktif adalah variabel yang dapat dimanipulasi, sedangkan variabel atribut merupakan variabel yang tidak dapat dimanipulasi. Pembagian variabel ke dalam dua jenis ini (aktif dan atribut) akan menjadi jelas jika dihubungkan dengan jenis penelitian eksperimen. Dalam penelitian eksperimen ada variabel yang dimanipulasikan, artinya peneliti dapat melakukan berbagai hal terhadap berbagai kelompok subyek (kelompok eksperimen).
Variabel atribut atau pasif adalah variabel yang sulit dilakukan manipulasi. Umumnya yang termasuk jenis variabel ini adalah intelegensi, bakat, jenis kelamin, status sosial-ekonomi, agama, keturunan. Jadi hal-hal yang umunya menjadi ciri manusia merupakan variabel atribut.
[1] Fred N. Kerlinger, Asas-Asas Penelitian Behavioral, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press: 2002), hlm. 48
[2] Fred N. Kerlinger, Asas-Asas Penelitian Behavioral, hlm. 51
[3] Stephen Yelon, dkk., A Teachers World Psychology in Classroom, (Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha, 1977), hlm. 294

Pertemuan 6-7 MPS

MASALAH PENELITIAN

Beberapa literatur dalam metodologi penelitian menyatakan bahwa penelitian dilaksanakan dalam rangka memperoleh pemecahan terhadap suatu masalah. Hillway[1], misalnya menyatakan bahwa penelitian adalah suatu metode studi yang dilakukan oleh individu, kelompok atau badan melalui penyelidikan yang cermat tentang suatu masalah sehingga diperoleh pemecahan yang tepat atas masalah tersebut. Ardhana[2] juga mengatakan bahwa penelitian itu merupakan proses untuk mencapai pemecahan masalah yang dapat diandalkan melalui pengumpulan, analisis dan intrepretasi data yang terencana dan sistematis. Emory dalam bukunya Business Research Methods (1997) sebagai dikutip oleh Sugiyono, berpendapat bahwa penelitian dilakukan berawal dan berakhir dengan masalah. Demikian urgen dan signifikannya “masalah” dalam penelitian, beberapa penulis buku penelitian meletakkan masalah sebagai pangkal tolak aktivitas penelitian.[3]
Secara ekstrim dapat dikatakan bahwa penelitian itu ada karena kita ingin memperoleh pemecahan suatu masalah. Isaac dan Michael[4] bahkan berani mengatakan “formulasi masalah penelitian dengan baik merupakan setengah dari tahap pemecahan masalah dan penelitian itu sendiri”. Pengakuan para ahli penelitian seperti di atas sangat mudah dipahami mengingat apapun pendekatan penelitian yang digunakan (kuantitatif atau kualitatif), masalah merupakan komponen utama yang harus dipahami bagi seorang peneliti.
Permasalahan yang sering kita dengar adalah adanya keluhan “kehabisan” masalah bagi peneliti pemula (baca: mahasiswa). Keluhan ini sebenarnya menyiratkan kontradiksi dengan hakikat dirinya sebagai manusia. Manusia adalah makhluk yang sanantiasa bermasalah. Jadi yang sulit adalah mengidentifikasi masalah dan mendudukkannya dalam proposal penelitian.

Pengertian Masalah Penelitian

Kapabilitas dan kredibilitas seorang peneliti bukan hanya ditentukan oleh frekuensi atau jam terbang melakukan penelitian, melainkan juga oleh kemampuan menemukan dan memilih masalah penelitian yang layak teliti. Masalah penelitian adalah suatu keadaan yang bersumber dari interaksi antara dua factor atau lebih yang menghasilkan situasi yang membingungkan. Karena membingungkan maka memerlukan solusi. Masalah pada dasarnya adalah merupakan suatu keadaan yang memerlukan solusi.
Keadaan tersebut muncul karena adanya kesenjangan (gap/kontradiktif) antara apa yang ada dan apa yang seharusnya, antara kenyataan yang ada dan apa yang diharapkan, antara tuntutan dengan apa yang tersedia, antara teori dan kenyataan. Masalah akan muncul apabila kita mampu menangkap kontradiktif pada interaksi antara satu atau dua komponen, yaitu konsep, pengalaman dan data empirik.


Kontradiktif yang terjadi pada konsep disebut dengan conceptual problems, sedangkan kontradiktif pada data empirik disebut dengan action problems, dan kontradiktif pada pengalaman dinamakan value problems.

Apabila dilihat dari apa yang diharapkan, maka masalah dapat dikelompokkan ke dalam 3 kategori, yaitu (1) masalah filosofis, (2) masalah kebijakan, dan (3) masalah ilmiah. Suatu masalah dikatakan masalah filosofis jika gejala-gejala empirisnya tidak sesuai dengan pandangan hidup yang ada dalam masyarakat. Gejala hubungan seks sebelum nikah di kalangan remaja termasuk dalam kategori ini, karena nilai-nilai yang berlaku di kalangan remaja itu tidak sesuai dengan norma-norma etis dan norma-norma keagamaan yang dianut oleh masyarakat.

Masalah yang tergolong dalam masalah kebijakan adalah perilaku-perilaku atau kenyataan yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pembuat kebijakan. Kualitas pendidikan yang tidak sesuai dengan tujuan pendidikan, bantuan untuk orang miskin yang tidak mencapai sasaran, merupakan dua contoh masalah dalam kategori ini.

Masalah yang tergolong dalam kategori masalah ilmiah adalah kenyataan-kenyataan yang tidak sesuai dengan teori ilmu pengetahuan. Dalam psikologi terdapat “teori hukuman” yang menjelaskan bahwa hukuman yang diberikan kepada anak akan mengubah perilakunya ke arah yang positif. Tetapi dalam kenyataannya, anak-anak yang diberi hukuman itu perilakunya justru semakin mengarah pada hal-hal yang negatif, bahkan hukuman itu menanamkan dendam kepada orangtuanya
Menemukan Masalah penelitian

Kesulitan menemukan masalah bukan disebabkan oleh ketiadaan masalah itu sendiri, sebab masalah dalam penelitian bersifat tak terbatas. Peneliti yang sedang mencari masalah dapat dianalogikan seorang yang berbelanja di supermarket besar, bukan barangnya yang tidak ada, sulit dicari atau tidak ada barang yang menarik, melainkan bagaimana memilih barang yang dpat menjawab persoalan kebutuhannya yang paling dasar (primer) berdasarkan kemampuan finansial, pengetahuan terhadap barang itu sendiri, keterbatasan waktu, dan sebagainya. Semua barang yang ada di supermarket merupakan barang yang menarik bagi subyek tertentu yang membutuhkannya berdasarkan konteks yang dihadapi. Ada orang cukup banyak uang tetapi tidak mampu memperoleh barang yang berkualitas karena keterbatasan pengetahuan terhadap barang itu sendiri. Sebaliknya ada yang memiliki pengetahuan cukup tentang barang yang berkualitas tetapi keuangan tidak memadai.

Kemampuan menemukan masalah ditentukan antara lain oleh kepekaan (sensitivitas) dan kesediaan mengambil jarak dengan realitas sehari-hari (seperti rutinitas, kebenaran, fenomena alam dan kejadian di sekitar kita). Penemuan gaya grafitasi bumi, adalah berkat kemampuan Newton mengambil jarak terhadap fenomena alam (yaitu buah apel yang jatuh dari pohonnya) yang mungkin menurut orang lain bahwa buah jatuh dari atas ke bawah merupakan hal biasa. Clifford Geertz mampu menemukan tipologi masyarakat Jawa dalam varian abangan, santri dan priyayi adalah berkat kejelian dan kepekaannya dalam melihat realitas masyarakat Jawa.

Masalah sosial sering menampakkan diri pada conflict issues yang dapat ditangkap dari peristiwa yang ada dalam masyarakat. Isu-isu seperti itu dapat ditangkap melalui pengamatan lansung, atau dari surat kabar, atau media massa lainnya, atau dari pokok-pokok pembicaraan yang berkembang dalam masyarakat. Pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan membantu kita mengetahui pokok permasalahan dari isu tersebut. Seperangkat gejala umum perlu dipelajari untuk bisa menemukan isu seperti “demokrasi”, kualitas sumber daya manusia”, “pengangguran”, “kualitas beragama masyarakat”, “kualitas pendidikan”, “relevansi dakwah”, dan sebagainya.

Bertitik tolak dari isu tersebut kita berusaha merumuskan masalah yang menjadi fokus penelitian kita. Dari isu yang pragmatis tersebut dapat pula ditarik sejumlah masalah, tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Di sinilah pentingnya teori sebagai acuan dalam melihat masalah.

Beberapa cara melatih kepekaan dalam melihat fenomena sosial di seputar kita sehingga akan memudahkan penemuan masalah penelitian adalah :
1. membaca sebanyak-banyak buku yang relevan dengan bidang yang kita tekuni dan bersikap kritis terhadap apa yang kita baca
2. menghadiri kuliah atau ceramah diskusi dan seminar atau forum ilmiah lainnya
3. mengadakan pengamatan dari dekat situasi atau peristiwa di sekitar kita
4. mengembangkan pemikiran kemungkinan penelitian dengan topik yang didapat waktu kuliah
5. menghadiri seminar hasil penelitian
6. berkunjung ke perpustakaan untuk memperoleh topik penelitian
7. berlangganan jurnal atau majalah yang sesuai dengan bidang atau disiplin keilmuan kita
8. mengumpulkan bahan-bahan yang berhubungan dengan bidang kita
9. dan sebagainya

Kriteria Masalah Penelitian

Penemuan masalah penelitian bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Ada sejumlah kriteria yang dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam penemuan masalah penelitian, antara lain (1) merupakan bidang masalah dan topik yang menarik, (2) mempunyai signifikansi secara teoritis atau praktis, (3) dapat diuji melalui pengumpulan dan analisis data, (4) sesuai dengan waktu dan biaya yang tersedia.[5]

Empat kriteria tersebut kemudian digunakan untuk menganalisis masalah yang telah kita pilih. Adapun langkah-langkah analisis terhadap masalah yang sudah kita pilih itu adalah sebagai berikut.

Pertama, analisis subtansi masalah itu sendiri. Masalah yang dipilih memiliki relevansi akademik dalam arti termasuk bidang kaji keilmuan apa, misalnya sosiologi, psikologi, komunikasi, manajemen, teologi dan lain sebagainya. Dengan mengetahui dan memahami kedudukan masalah dalam konteks keilmuan yang ada, peneliti dapat menelisik dan mendalami permasalahan itu dan mendudukkan dalam pokok bahasan bidang ilmu dimaksud. Dengan cara ini, seorang peneliti akan memiliki pangkal tolak dan perspektif keilmuan yang ada.

Kedua, analisis teori dan metode. Masalah yang dipilih sebainya dapat dicari rujukan kepustakaan, perspektif teoritis, dan metodenya. Dengan pertimbangan ini dapat ditelusuri kajian pustaka baik berupa buku, jurnal atau hasil riset terdahulu, dan peneliti akan semakin tajam dan terfokus dalam penelitiannya. Perspektif teoritis berguna bagi peneliti agar memiliki starting point dan point of view yang jelas sehingga ia akan semakin peka dan kritis dalam menvermati setiap fenomena.

Ketiga, analisis institusional. Jenis, bobot dan tujuan penelitian hendaknya disesuaikan dengan institusi di mana peneliti mempersembahkan penelitiannya. Penelitian untuk persyaratan memperoleh gelar akademik (skripsi, tesis, dan desertasi) tentu berbeda dengan penelitian pesanan (action research, evaluation research).

Keempat, analisis metodologis. Masalah yang diangkat hendaknya terjangkau baik dari segi metode pengumpulan data atau datanya itu sendiri. Penelitian yang melibatkan para elit (presiden, gubernur, ketua partai dan kalangan birokrat lainnya) umumnya lebih sulit dilakukan –secaraprosedural—daripada meneliti masyarakat awam. Juga harus dipertimbangkan factor ketersediaan data, apakah cukup datanya dan mudah didapat.

Kelima, masalah yang dipilih hendaklah actual, berarti dan bermakna. Peneliti mestinya menghindari masalah yang sudah banyak diteliti. Peneliti juga harus mempertimbangkan nilai manfaat praktis atau konkrit jika masalah tersebut diteliti. Nilai manfaat tersebut sedapat mungkin dirasakan oleh peneliti, institusi, masyarakat maupun pengembangan ilmu.

Secara sederhana (untuk mudah mengingat) bahwa dalam memilih masalah penelitian dapat menggunakan Empat Relevansi (4R), yaitu relevansi akademik, relevansi insitusional, relevansi sosial, dan relevansi personal.

[1] Hillway.T, Introduction to Research (Boston: Miffin Co., 1976)
[2]Ardhana. W., Bacaan Pilihan Metode Penelitian (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1987)
[3]Lihat misalnya M. Nasir, Metode Penelitian (Jakarta: Gramedia, 2000), Sutrisno Hadi, Metode Research (Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1980), Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta: 1996), W. Gulo, Metode Penelitian, (Jakarta: Grasindo, 2002) dan sebagainya
[4]Isaac, S. dan WB. Michael. Handbook in Research and Evaluation for Educational and the Behavioral Sciences, (California, USA: Edits Publisher, 1989), hlm. 32
[5] L.R Gay and PI Diehl, Research Methods for Business and Management, (New York: Macmillan Publishing Company, 1992) hlm. 54-55

Minggu, 11 Oktober 2009

MPS Pertemuan 4-5. kelas 3H1 dan 3H2

KLASIFIKASI PENELITIAN

Beberapa leteratur menunjukkan keragaman sudut pandang yang dipakai para ilmuan untuk melihat dan membuat klasifikasi atau macam-macam penelitian. Misalnya, jika dilihat dari segi hasil yang ingin dicapai penelitian dibagi menjadi penelitian eksplorasi atau deskriptif, dan penelitian eksplanatori[1]. Sementara jika dilihat dari segi bahan atau obyek yang akan diteliti, maka ada penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Apabila dilihat dari cara atau teknik analisis data, maka penelitian terbagi atas kuantitatif dan kualitatif, sedangkan apabila dilihat dari rancangan penelitian yang digunakan, penelitian dibagi menjadi penelitian yang bersifat histories, perkembangan, kasus, korelasional, kausal-komparatif, eksperimen sungguhan, eksperimen semu, dan penelitian tindakan (action research).[2] Masri Singarimbun dengan menggunakan sudut pandang metode dan rancangan, membagi penelitian menjadi penelitian survei, penelitian eksperimen, dan grounded research.[3]
Dari berbagai cara melihat penelitian yang menimbulkan macam-macamnya itu, cara melihat penelitian dari segi metode dan rancangan yang digunakan itulah yang umumnya digunakan sebagai acuan, karena cara pandang yang disebutkan sebelumnya dinilai sudah tercakup dalam cara melihat penelitian dari segi metode dan rancangannya.
A. Berdasarkan Tujuan Penelitian
1. Penelitian dasar (basic, pure, atau fundamental research)
Penelitian dasar merupakan tipe penelitian yang berkaitan dengan pemecahan persoalan tetapi dalam pengertian yang berbeda yaitu berupa persoalan yang bersifat teoretis dan tidak mempunyai pengaruh secara langsung dengan penentuan kebijakan, tindakan atau pengambilan keputusan. Tujuan penelitian dasar adalah pengembangan dan evaluasi terhadap konsep-konsep teoretis. Temuan penelitian dasar diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan teori.
Penelitian akademik yang dilakukan oleh mahasiswa sebagai tugas akhir yang dilaporkan dalam bentuk skripsi dan tesis atau bahkan disertasi umumnya merupakan jenis penelitian dasar.
2. Penelitian Terapan
Penelitian terapan (applied research) adalah penelitian yang menekankan pada pemecahan masalah-masalah praktis. Penelitian ini diarahkan untuk menjawab pertanyaan spesifik dalam rangka penentuan kebijakan, tindakan atau kinerja tertentu. Temuan penelitian umumnya berupa informasi yang diperlukan untuk pembuatan keputusan dalam memecahkan masalah-masalah pragmatis.
Penelitian terapan dibedakan menjadi pertama, penelitian evaluasi (digunakan untuk mendukung pemilihan terhadap beberapa alternatif tidakan dalam proses pembuatan keputusan. Penelitian ini melakukan penilaian terhadap efektivitas suatu tindakan, kegiatan atau program. Kedua, penelitian dan pengembangan yang dimaksudkan untuk mengembangkan produk baru atau pengembangan proses untuk menghasilkan produk. Ketiga, penelitian aksi (action research) yang bertujuan untuk mengembangkan keterampilan atau pendekatan baru dan memecahkan masalah tertentu. Masalah yang diteliti umumnya merupakan masalah praktis dan relevan dengan kondisi actual.

Faktor utama yang membedakan antara penelitian dasar dan penelitian terapan berdasarkan konteks dan tujuan masing-masing jenis penelitian, dapat dilihat dalam tabel berikut


Penelitian Dasar Penelitian Terapan


Lingkungan akademik Lingkungan pemerintah, stakeholder
Inisiatif berasal dari peneliti Inisiatif dari klien (sponsor)
Dibiayai oleh peneliti (bantuan) Dibiayai klien melalui kontrak
Penelitian mandiri Penelitian kelompok
Satu atau dua disiplin Multi disiplin
Lebih fleksibel Kurang fleksibel
Pengembangan ilmu Pemecahan masalah
Menjawab sedikit pertanyaan Menjawab banyak pertanyaan


B. Berdasarkan Karakteristik Masalah
Berdasarkan karakteristik masalah yang diteliti, penelitian diklasifikasikan menjadi:
Penelitian Historis adalah penelitian terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan fenomena masa lalu. Tujuan penelitian histories adalah melakukan rekonstruksi fenomena masa lalu secara sistematis, obyektif dan akurat untuk menjelaskan fenomena sekarang atau mengantisipasi fenomena yang akan datang.
Penelitian Deskriptif adalah penelitian terhadap permasalahan berupa fakta-fakta saat ini dari suatu populasi. Tujuan penelitian deskriptif adalah untuk menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan current status dari subyek yang diteliti. Jenis penelitian ini umumnya berkaitan dengan kejadian, prosedur, atau opini.
Penelitian Kasus dan Lapangan merupakan penelitian dengan karakteristik masalah yang berkaitan dengan latar belakang dan kondisi saat ini dari subyek yang diteliti serta interaksinya dengan lingkungan. Subyek yang diteliti dapat berupa individu, kelompok, lembaga atau komunitas tertentu. Tujuan penelitian kasus adalah melakukan penyelidikan secara mendalam mengenai subyek tertentu untuk membrikan gambaran yang lengkap mengenai subyek tertentu.
Penelitian Korelasional merupakan tipe penelitian dengan karakteristik masalah berupa hubungan korelasional antara dua variabel atau lebih. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan ada atau tidaknya korelasi antar variabel atau membuat prediksi berdasarkan korelasi antar variabel.
Penelitian Kausal-Komparatif merupakan tipe penelitian dengan karakteristik masalah berupa hubungan sebab-akibat antara dua variabel atau lebih. Peneliti melakukan pengamatan terhadap konsekuensi yang timbul dan menelusuri kembali fakta yang secara masuk akal sebagai factor penyebabnya. Penelitian komparatif merupakan tipe penelitian ex post facto (penelitian terhadap data yang dikumpulkan setelah terjadi suatu fakta atau peristiwa). Peneliti dapat mengidentifikasi fakta atau peristiwa tersebut sebagai variabel yang dipengaruhi (dependent) dan melakukan penyelidikan terhadap variabel yang mempengaruhi (independent)
Penelitian Eksperimen merupakan penelitian dengan masalah yang sama dengan penelitian kausal komparatif yaitu mengenai hubungan sebab-akibat antara dua atau lebih variabel. Dalam penelitian eksperimen peneliti melakukan manipulasi atau pengendalian (kontrol) terhadap setidaknya satu variabel independen, sedang pada penelitian kausal komparatif tidak ada perlakuan (treatment) dari peneliti terhadap variabel independen. Manipulasi peneliti terhadap variabel independen tertentu merupakan karakteristik dari penelitian eksperimen yang sengaja dilakukan untuk melihat pengaruh perlakuan tersebut terhadap variabel dependen.

C. Berdasarkan Paradigma Penelitian
Paradigma berarti suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Menurut Anderson, paradigma adalah ideologi dan praktik suatu komunitas ilmuwan yang menganut suatu pandangan yang sama atas realitas, memiliki seperangkat kriteria yang sama untuk menilai aktivitas penelitian dan menggunakan metode serupa.[4] Secara umum terdapat dua paradigma yaitu paradigma positivistic dan paradigma naturalistic. Paradigma positivistic menghasilkan jenis penelitian kuantitatif, sedangkan paradigma naturalistic menghasilkan jenis penelitian kualitatif.
Perbedaan antara penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif dapat dilihat berdasarkan beberapa factor berikut.

Aspek Perbandingan
Kualitatif
Kuantitatif
Fokus Penelitian
Kualitas (hakikat, esensi)
Kuantitas (berapa banyak)
Akar Filsafat
Fenomenologi
Positivisme, empirisme
Frase Terkait
Kerja lapangan, etnografi, naturalistic, grounded, dll
Eksperimen, empirik, statistik
Tujuan
Pemahaman, deskripsi
Pengukuran, uji hipotesis
Disain
Lentur
Detail dan ketat
Seting
Alamiah, akrab
Rekayasa, seleksi
Sampel
Kecil, tidak acak,
Besar, random, representasi
TPD
Peneliti (observasi, interview)
Bukan manusia (skala, tes, angket)
Analisis
Induktif
Deduktif
Temuan
Holistic dan kasuistik
Generalis, reduksionis

Sementara itu Burhan Bungin merinci penelitian kuantitatif menjadi berbagai ragam.

RAGAM PENELITIAN KUANTITATIF MENURUT JENIS PENGGOLONGAN[5]

NO
PENGGOLONGAN MENURUT
RAGAM PENELITIAN
1
Tujuan
Eksplorasi
Pengembangan
Verifikasi
2
Pendekatan
Longitudinal
Cross sectional
Kuantitatif
Survei
Assesment
Evaluasi
Action Research
3
Tempat
Library
Laboratorium
Filed
4
Bidang Ilmu
Pendidikan
Agama
Manajemen
Komunikasi
Administrasi
Bahasa
Hukum
Sejarah
Antropologi
Sosiologi
Filsafat, dsb.
5
Taraf
Deskriptif
Eksplanasi
6
Saat Terjadinya Variabel
Historis
Eks post Facto
Eksperimen


[1] Mely G. Tan, Masalah Perencanaan Penelitian, dalam Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1983), hlm. 19
[2] Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), hlm. 9-26
[3] Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survey, (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 3-8
[4] James A. Anderson, Communication Research: Issues and Methods, (New york: McGraw-Hill, 1987) hlm. 45.
[5] Lihat Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kuantitatif ( Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 41

MP KUALITATIF Pertemuan ke 5. kelas 5A 5B

PARADIGMA, TEORI DAN METODE
DALAM PENELITIAN KUALITATIF

A. Arti Paradigma, Teori dan Metode serta hubungannya dalam penelitian

Istilah paradigma kali pertama dikenalkan Thomas S. Kuhn dalam bukunya berjudul the Structure of Scientific Revolutions. Secara etimologi, banyak kata atau istilah yang dipadankan dengan paradigma antara lain perspektif, school of thought (mazhab pemikiran), model, pendekatan, strategi intelektual, kerangka konseptual, kerangka pemikiran, atau world view (pandangan dunia).

Paradigma didefinisikan oleh ahli dengan banyak redaksi. Kuhn sendiri mengartikannya sebagai pandangan hidup (world view) yang dimiliki oleh para ilmuan dalam suatu disiplin tertentu. Robert A. Friedrichs menyatakan bahwa paradigma adalah suatu gambaran yang mendasar mengenai pokok permasalahan yang dipelajari dalam suatu disiplin. Sementara Bogdan dan Biklen memahami paradgma dengan kumpulan lepas dari asumsi, konsep, atau proposisi yang disatukan secara logis yang mengarahkan pikiran dan jalannya penelitian.

Secara singkat Dedy Mulyana mengatakan paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Sedemikian juga Imam Suprayogo meringkaskan bahwa paradigma merupakan pandangan dunia yang dimiliki seorang peneliti yang dengan itu ia memiliki kerangka berpikir (frame), asumsi, teori, atau proposisi dan konsep terhadap suatu permaslahan penelitian yang dikaji.

Dengan merujuk pendapat Anderson agaknya dapat digunakan untuk mengakhiri dan memahami apa sebenarnya paradigma itu dalam konteks penelitian. Anderson mengatakan bahwa paradigma adalah ideology dan praktek suatu komunitas ilmuwan yang menganut suatu pandangan yang sama atas realitas, memiliki seperangkat kriteria yang sama untuk menilai aktivitas penelitian, dan menggunakan metode serupa.

Sementara teori—berdasarkan etimologinya—mempunyai makna berkisar dari yang sangat awam, yakni sekadar spekulasi (misal teori tentang jam berapa kawan kita akan tiba di bandara Juanda dari Jakarta), hingga yang canggih seperti tersirat dalam teori relativitas Einstein. Untuk yang terkahir ini, maka teori diartikan sebagai penggambaran terbaik atas suatu keadaan berdasarkan pengamatan yang sistematik.

Definisi teori yang lazim dikutip adalah formulasi dari Kerlinger yaitu seperangkat konsep, definisi dan proposisi yang saling berhubungan yang menyajikan suatu pandangan yang sistematik atas fenomena dengan menjabarkan hubungan-hubungan dengan tujuan menjelaskan dan meramalkan fenomena tersebut. Definisi ini sebenarnya cocok untuk ilmu alam. Teori secara minimal terdiri dari suatu konsep yang dianggap sebab, suatu konsep yang dianggap akibat, dan suatu pernyataan tentang bagaimana dan mengapa kedua konsep tersebut berhubungan. Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat dipahami bahwa teori mempunyai tingkatan yang berlapis-lapis, mulai dari yang tertinggi (paling abstrak) hingga yang paling operasional. Kalangan akademisi membagi tiga kategori teori: grand theory (teori agung), middle-range theory (teori menengah), dan operational atau particularistic theory (teori partikularistk/operasional).

Dalam kaitannya dengan penelitian, maka teori menurut Littlejohn merupakan tahap ketiga (mencari jawaban), setelah tahap bertanya (merumuskan pertanyaan) dan tahap kedua (pengamatan). Metode pengamatan berbeda antara paradigma yang satu dengan paradigma lainnya. Sebagian ilmuan sosial meneliti artefak dan dokumen-dokumen lama, sebagian lainnya terlibat secara pribadi, lainnya lagi menggunakan instrumen dan eksperimen. Pengamatan sering merangsang pertanyaan baru dan pengamatan antara lain ditentukan oleh teori dan pada gilirannya teori juga ditentukan oleh paradigma. Dengan demikian, suatu teori harus konsisten dengan paradigmanya, dan metode penelitian harus konsisten dengan teorinya dan sekaligus juga dengan paradigma yang digunakan.

Pemahaman tentang hubungan antara paradigma, teori dan metode penelitian itu penting. Masih ada mahasiswa yang menggunakan teori tertentu dalam menulis (meneliti untuk) skripsi, namun metode penelitiannya berbeda atau bahkan bertolak belakang dengan teori yang digunakan. Misal, seorang mahasiswa menggunakan teori Stimulus-Respon, namun metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif yang dalam laporan penelitiannya hanya dilengkapi dengan tabel-tabel frekuensi tunggal.

Sekali lagi, dalam bidang keilmuan, paradigma akan mempengaruhi teori kita yang pada gilirannya mempengaruhi cara kita melakukan (metode) penelitian. Paradigma menjelaskan asumsi-asumsinya yang spesifik mengenai bagaimana penelitian harus dilakukan dalam bidang yang bersangkutan. Paradigma menentukan apa yang dianggap fenomena yang relevan bagi penelitian dan metode yang sesuai untuk menemukan hubungan di antara fenomena yang kelak disebut teori.

Oleh karena setiap peneliti memandang disiplin ilmunya secara berbeda, ia cenderung menafsirkan fenomena yang sama dengan cara yang berbeda pula. Oleh karena tidak adanya paradigma yang dapat diterima secara universal semua interpretasi yang bervariasi menjadi sama-sama sah.

Beraneka ragam paradigma ternyata erat kaitannya dengan “persoalan apakah sebenarnya realitas sosial itu”. Uraian berikut lebih mengekplorasi mengenai realitas sosial, sebagai pengantar sub bab berikutnya mengenai paradigma penelitian kualitatif.

B. Paradigma dan Realitas Sosial

Macam paradigma yang dikemukakan oleh teoritisi bergantung pada bagaimana ia memandang manusia yang menjadi objek kajian mereka. Perbedaan paradigma ini pada dasarnya merupakan perbedaan penafsiran tentang apa itu realitas, dan bagaimana kedudukan manusia dalam realitas itu.

Realitas adalah semua yang telah dikonsepsikan sebagai sesuatu yang mempunyai wujud, sesuatu yang membenda atau actual. Realitas harus dibedakan dengan fakta dan fenomena. Fakta adalah semua hasil perbuatan atau buatan manusia. Sementara fenomena merupakan sesuatu yang menampak dan muncul dalam alam kesadaran manusia.

Realitas sosial menurut Berger dan Luckman terdiri dari tiga macam, yaitu
1. Realitas objektif yaitu realitas yang terbentuk dari pengalaman di dunia objektif yang berada di luar diri individu. Inilah yang disebut kenyataan empirik
2. Realitas simbolik yaitu ekspresi simbolik dari realitas objektif dalam berbagai bentuknya
3. Realitas subjektif yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolik ke dalam individu melalui proses internalisasi.

Pemahaman seperti inilah yang kemudian membawa pada dikotomi bahwa realitas sosial itu empirik, dan simbolik yang sebenarnya bermuara pada dua aliran yaitu empirisisme dan aliran simbolisme. Aliran empirisisme (positivisme) merupakan induk penelitian kuantitatif, sementara aliran simbolisme (naturalisme) adalah induk penelitian kualitatif.

Aliran Empirisisme
1. objek kajian sosial yaitu realitas sosial itu sebagai realitas objektif yang teramati dan terukur
2. realitas sosial bukan kesadaran/pengetahuan warga masyarakat tetapi manifestasinya yang kasat mata dan teramati di alam inderawi yang objektif
3. manifestasinya mewujud dalam perilaku sosial warga masyarakat berikut pola-polanya, struktur dan jika sudah demikian menjadi institusi sosial
4. yang dikaji adalah struktur dan fungsi
5. perilaku manusia bergantung pada stimulus yang menerpa dirinya. Sehingga perilaku manusia itu sifatnya otomatis dan mekanistik

Aliran Simbolisme
1. realitas sosial sebagai makna-makna yang terinterpretasi dari berbagai symbol cultural
2. objek kajian sosial sebenarnya bukanlah apa yang sebatas penampakannya di alam inderawi
3. dunia manusia adalah dunia simbolis setiap wujud yang inderawi dalam hidup manusia adalah symbol yang merefleksikan makna-makna
4. mengkaji institusi sosial tidak akan cukup berhasil jika dilakukan hanya dengan mempelajari data tentang perilaku atau pola perilaku sosial dengan menggunakan indicator-indikator variabel
5. realitas sosial terbenam dalam relung alam kesadaran manusia yang simbolisme penuh makna
6. manusia dipandang sebagai makhluk sosial yang sehari-hari bukanlah “berperilaku” (behavior) tetapi “bertindak” (action). Istilah perilaku konotasinya mekanistik dan otomatis padahal tingkah laku sosial manusia selalu melibatkan niat, kesadaran dan alasan tertentu. Ia melibatkan makna dan interpretasi yang tersimpan dalam diri sebagai pelaku tindakan.
7. realitas sosial bersifat “maknawi” bergantung pada makna yang diberikan untuk manusia yang memandangnya
8. suatu objek, keadaan, kondisi situasi atau apa saja dalam kenyataan sosial bisa memiliki makna beraneka ragam. Karenanya, satu fakta beribu makna. Misal, pertandingan sepak bola di Gelora Sepuluh Nopember akan bermakna kesempatan melihat keterampilan mengocek bola bagi pecandu bola, tetapi kalangan pencopet akan memaknainya sebagai kesempatan emas untuk beraksi, lain lagi dengan para calo karcis. Demikian pula makna pertandingan sepak bola tersebut bagi juru parkir.
9. oleh sebab itu memahami realitas sosial harus memahami dunia makna yang tersimpan dalam diri perilaku




Minggu, 04 Oktober 2009

materi MPS 3 H1, 3H2

Pertemuan 3

A. Definisi Penelitian
Istilah penelitian berasal dari terjemahan bahasa Inggris research. Kata research berasal dari re yang berarti kembali dan search berarti mencari. Dengan makna ini kata research berarti mencari kembali. Banyak definisi tentang penelitian yang dikemukakan oleh para ahli: 
1. Dalam kamus Webster’s New International, penelitian atau research adalah penyelidikan yang hati-hati dan kritis dalam mencari fakta dan prinsip-prinsip; suatu penelitian yang cerdik untuk menetapkan sesuatu. 
2. Moh Nazir, dalam bukunya Metode Penelitian mengutip berbagai definisi tentang istilah penelitian ini. Di antara definisi yang dikutip adalah: 
3. Menurut Hillway (1956) penelitian adalah suatu metode studi yang dilakukan seseorang melalui penyelidikan yang hati-hati dan sempurna terhadap suatu masalah, sehingga diperoleh pemecahan yang tepat terhadap masalah tersebut. 
4. Menurut Parsons (1946) penelitian adalah sebagai pencarian atas sesuatu (inquiry) secara sistematis dengan penekanan bahwa pencarian ini dilakukan terhadap masalah-masalah yang dapat dipecahkan. 
5. Menurut John (1949), penelitian adalah suatu pencarian fakta menurut metode obyektif yang jelas untuk menemukan hubungan antar fakta dan menghasilkan dalil atau hukum.  
6. Definisi yang dikemukakan oleh Sutrisno Hadi dalam bukunya Metodologi Research, tidak jauh berbeda. Yakni, penelitian adalah usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, yang dilakukan dengan menggunakan metode-metode ilmiah. Pelajaran yang memperbincangkan metode-metode ilmiah untuk research disebut metodologi research.  
Menurut hemat saya dari berbagai definisi penelitian diatas dapat dirumuskan sebagai berikut: Penelitian adalah rangkaian kegiatan sistematis untuk memecahkan masalah-masalah yang rumit, melalui interpretasi fakta-fakta dalam rangka upaya mengembangkan pengetahuan.

C. Fungsi Penelitian
Pengertian fungsi ini biasanya dibedakan menjadi dua pengertian, yakni manifest function dan latent function.

1. Manifest function: fungsi yang bersifat langsung
  Dari segi fungsi yang bersifat langsung ini, fungsi penelitian adalah:
a. Dapat menunjang eksistensi dan memberikan bobot ilmu pengetahuan dari segi keilmiahan, sehingga ilmu pengetahuan tersebut menjadi pengetahuan ilmiah. Maksud ilmu pengetahuan ilmiah disini adalah bahwa ilmu pengetahuan tersebut sistematis, artinya bahwa setiap ide atau gagasan setiap bidang masalah tidak berantakan, dan setiap ide pengetahuan terkait dengan ide pengetahuan yang lain. Dan diperoleh dengan metode yang teruji. Selain itu makna sistematis juga termasuk bahwa setiap ide pengetahuan terkait dengan ide pengetahuan yang lain.
b. Dapat mengembangkan ilmu pengetahuan, terutama karena adanya pengujian terhadap hipotesa-hipotesa yang telah dirumuskan dalam konsep penelitian. 

2. Latent function : fungsi yang bersifat tidak langsung.
Dari segi fungsi yang bersifat tidak langsung ini, fungsi penelitian adalah:
a. Memperdalam pengertian kita akan sifat dan kedudukan masalah sosial (social problem).
 Dalam kehidupan disekeliling kita akan selalu terdapat berbagai masalah sosial. Rumusan tentang masalah sosial ini ada yang bersifat dasar, dan ada pula yang tidak dasar. Rumusan masalah sosial ini akan sangat tergantung pada kemampuan seseorang melihat realita sosial disekelilingya. Karena setiap orang akan memiliki rumusan masalah sosial yang berbeda. Di antara contoh rumusan masalah sosial yang bersifat dasar adalah pandangan Karl Marx, tentang keterasingan (alienation). Dari masalah sosial yang bersifat dasar ini melahirkan rumusan masalah sosial berikutnya seperti pengangguran dan kemiskinan. Demikian seterusnya dari rumusan tersebut akan melahirkan rumusan-rumusan masalah sosial lebih lanjut.
 Contoh lain tentang rumusan masalah sosial yang bersifat dasar adalah pandangan Durkheim tentang anomie (ketidak teraturan). Dari rumusan masalah sosial ini akan melahirkan rumusan masalah sosial berikutnya seperti bunuh diri, dan seterusnya.  
b. Mengokohkan usaha-usaha kita menangani masalah-masalah sosial lewat kebijaksanaan yang terencana. 
Pengertian kebijaksanaan ini selalu dikaitkan dengan praktek tindakan tertentu. Disini kebijaksanaan sering juga diartikan sebagai intervensi; yakni mempengaruhi segala persoalan untuk diatasi atau diselesaikan dengan cara tertentu. Kata kebijaksanaan sering digunakan untuk memberikan legitimasi tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang memiliki otoritas; seperti negara, aparat pimpinan negara, gereja, industri, dan organisasi-organisasi sosial lainnya.  
c. Hasil penelitian dapat mempengaruhi perkembangan lingkungan masyarakat. Dengan saran-saran, evaluasi dan pernyataan-pernyataan yang ditulis melalui laporan penelitian dapat mempengaruhi pikiran atau motivasi para pengembang masyarakat, pembangun masyarakat dan para pekerja dalam masyarakat untuk lebih meningkatkan dan memperhatikan perkembangan masyarakat yang sedang berlangsung. Dengan demikian lingkungan masyarakat secara tidak langsung memperoleh manfaat dari hasil penelitian. 

D. Prinsip penelitian

Prinsip penelitian dapat dikatakan sebagai sebuah proses kegiatan yang terus berputar, yang tidak akan pernah berhenti secara permanen. Setiap hasil laporan penelitian pada prinsipnya merupakan hasil sementara, yang dianggap final. Hal ini karena hasil penelitian tersebut masih dapat diuji dan diteliti kembali. Secara umum proses kegiatan yang terus berputar tersebut meliputi, sekurang-kurangnya 7 langkah, yang terus dapat berulang:
1. Dimulai dari sebuah pertanyaan tentang sesuatu yang belum terjawab di dalam pikiran peneliti. Jenis pertanyaan yang ada dalam pikiran seseorang itu beraneka ragam. Pertanyaan dapat dimulai dengan awalan kata pertanyaan yang dikenal dengan istilah 5 W dan satu H, ( What, Why, Who, When, Where dan How).
  What? Apa yang akan anda teliti? Ini adalah pertanyaan dasar, merupakan masalah utama yang harus diselesaikan. Pada umumnya bagian pertanyaan ini sangat menentukan dan berguna untuk merumuskan topik penelitian secara spesifik.
Why? Mengapa anda menginginkan penelitian itu? Apa penting keinginan tersebut di teliti. Apa tujuannya? Mengapa anda pilih penelitian yang spesifik tersebut? 
 Who? Siapa yang akan dijadikan sumber data? Dalam hal ini anda perlu berpikir siapa yang dijadikan responden, informan atau obyek penelitian. Bersamaan dengan pikiran ini anda juga perlu berpikir, mungkinkah responden atau informan tersebut di peroleh? Kalau dapat diperoleh ok laksanakan dan kalau tidak cari yang paling mungkin. 
Where? Dimana lokasi penelitian yang akan anda lakukan? Dalam memilih lokasi ini anda juga sekaligus berpikir dengan menyesuaikan jumlah dana yang akan digunakan dan apakah dana yang tersedia sudah memadai untuk dipakai. Apabila dana tidak mendukung perlu dicari lokasi yang memungkinkan. 
When? Kapan penelitian dilakukan. Pertanyaan ini akan membantu untuk menyesuaikan kesempatan yang ada untuk menentukan jadwal penelitian. 
How? Bagaimana penelitian itu dilakukan? Pertanyaan ini membantu untuk memilih metodologi penelitian yang tepat. Misalnya bagaimana menentukan populasi, sampling, sumber data, analisis data dilakukan. 



materi MP Kualitatif 5A, 5B

pertemuan 3-4
LANGKAH DAN MASALAH PENELITIAN

A. Langkah Penelitian Kualitatif
Untuk memperoleh pemahaman tentang langkah-langkah penelitian kualitatif dapat dimulai dengan melihat model cetak biru (blue print) penelitian ini. Cetak biru tersebut adalah
1. nurani akademik peneliti dikacaukan oleh suatu problem yakni interaksi atau kontradiksi antara dua atau lebih faktor yang dapat membinggungkan peneliti.
2. dari problem tadi muncullah sejumlah pertanyaan yang ingin dijawabnya
3. pertanyaan itu diharapkan ada jawabnya dan inilah tujuan yang ingin dicapainya
4. setiap tujuan penelitian itu pasti ada dalam kerangka konseptual teoritis sebagaimana ramai diwacanakan saat ini. 
5. untuk mencapai tujuan itu harus ada alat atau metode perolehannya
6. peneliti harus hati-hati terhadap adanya ancaman internal maupun ancaman eksternal yang menggerogoti validitas semua langkah penelitian.

Blue print tersebut jika digambarkan adalah sebagai berikut












Apabila dikaitkan dengan model penarikan kesimpulan dan peran teori dalam penelitian kualitatif, maka diagramnya dapat divisualisaikan sebagai berikut:























Dari blue print tersebut kemudian dapat dirinci unsur-unsur dan tertib urutan penelitian kualitatif sebagai berikut:
1. menentukan fokus penelitian
2. menentukan kesesuaian paradigma dengan fokus penelitian
3. menentukan kesesuaian paradigma dengan teori subtantif. Untuk melakukan poin 2 dan 3 ini peneliti harus mengkaji asumsi dasar dari paradigma naturalistic dengan merujuk teori subtantif yang diyakini peneliti. Ada lima aksioma paradigma ini, yaitu (a) hakikat realitas sebagai realitas jamak yang ada dalam pemikiran manusia, (b) hubungan antara yang mengetahui (the knower) dan yang diketahui (the known) sebagai hubungan interaktif bukannya dualisme subyek-obyek, (c) hasil penelitian bukan mencari generalisasi, tetapi mencari pemahaman melalui hipotesis kerja atau deskripsi kental (thick description), (d) dinamika kejadia: tidak tertarik pada hubungan kausalitas tetapi lebih tertarik memahami apa yang terjadi secara alami di lapangan, dan (e) peran nilai dalam penelitian: penelitian itu tidak terpisah dari nilai-nilai yang dianut peneliti. Penelitian tidak bebas nilai.
4. menentukan dimana dan dari siapa data akan diperoleh
5. menentukan fase-fase penelitian
6. menggunakan instrumen manusia
7. mengumpulkan dan merekam data
8. melakukan analisis data
9. membangun keterpercayaan

Secara singkat tertib urut tersebut dapat tercermin dari langkah-langkah penelitian sebagai berikut:
1. Pernjajagan, penentuan masalah dan perumusan masalah
2. Penyusunan desain
3. Penyusunan instrumen
4. Pengumpulan data
5. Pengolahan dan analisis data
6. Pelaporan

B. Masalah Penelitian

Beberapa literatur dalam metodologi penelitian menyatakan bahwa penelitian dilaksanakan dalam rangka memperoleh pemecahan terhadap suatu masalah. Hillway , misalnya menyatakan bahwa penelitian adalah suatu metode studi yang dilakukan oleh individu, kelompok atau badan melalui penyelidikan yang cermat tentang suatu masalah sehingga diperoleh pemecahan yang tepat atas masalah tersebut. Ardhana juga mengatakan bahwa penelitian itu merupakan proses untuk mencapai pemecahan masalah yang dapat diandalkan melalui pengumpulan, analisis dan intrepretasi data yang terencana dan sistematis. Emory dalam bukunya Business Research Methods (1997) sebagai dikutip oleh Sugiyono, berpendapat bahwa penelitian dilakukan berawal dan berakhir dengan masalah. Demikian urgen dan signifikannya “masalah” dalam penelitian, beberapa penulis buku penelitian meletakkan masalah sebagai pangkal tolak aktivitas penelitian. 
Secara ekstrim dapat dikatakan bahwa penelitian itu ada karena kita ingin memperoleh pemecahan suatu masalah. Isaac dan Michael bahkan berani mengatakan “formulasi masalah penelitian dengan baik merupakan setengah dari tahap pemecahan masalah dan penelitian itu sendiri”. Pengakuan para ahli penelitian seperti di atas sangat mudah dipahami mengingat apapun pendekatan penelitian yang digunakan (kuantitatif atau kualitatif), masalah merupakan komponen utama yang harus dipahami bagi seorang peneliti. 
Permasalahan yang sering kita dengar adalah adanya keluhan “kehabisan” masalah bagi peneliti pemula (baca: mahasiswa). Keluhan ini sebenarnya menyiratkan kontradiksi dengan hakikat dirinya sebagai manusia. Manusia adalah makhluk yang sanantiasa bermasalah. Jadi yang sulit adalah mengidentifikasi masalah dan mendudukkannya dalam proposal penelitian.

1. Kriteria Masalah Penelitian

Kapabilitas dan kredibilitas seorang peneliti bukan hanya ditentukan oleh frekuensi atau jam terbang melakukan penelitian, melainkan juga oleh kemampuan menemukan dan memilih masalah penelitian yang layak teliti. Masalah penelitian adalah suatu keadaan yang bersumber dari interaksi antara dua factor atau lebih yang menghasilkan situasi yang membingungkan. Karena membingungkan maka memerlukan solusi. Masalah pada dasarnya adalah merupakan suatu keadaan yang memerlukan solusi. 
Keadaan tersebut muncul karena adanya kesenjangan (gap/kontradiktif) antara apa yang ada dan apa yang seharusnya, antara kenyataan yang ada dan apa yang diharapkan, antara tuntutan dengan apa yang tersedia, antara teori dan kenyataan. Masalah akan muncul apabila kita mampu menangkap kontradiktif pada interaksi antara satu atau dua komponen, yaitu konsep, pengalaman dan data empirik.







  


Kontradiktif yang terjadi pada konsep disebut dengan conceptual problems, sedangkan kontradiktif pada data empirik disebut dengan action problems, dan kontradiktif pada pengalaman dinamakan value problems. 

Apabila dilihat dari apa yang diharapkan, maka masalah dapat dikelompokkan ke dalam 3 kategori, yaitu (1) masalah filosofis, (2) masalah kebijakan, dan (3) masalah ilmiah. Suatu masalah dikatakan masalah filosofis jika gejala-gejala empirisnya tidak sesuai dengan pandangan hidup yang ada dalam masyarakat. Gejala hubungan seks sebelum nikah di kalangan remaja termasuk dalam kategori ini, karena nilai-nilai yang berlaku di kalangan remaja itu tidak sesuai dengan norma-norma etis dan norma-norma keagamaan yang dianut oleh masyarakat.

Masalah yang tergolong dalam masalah kebijakan adalah perilaku-perilaku atau kenyataan yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pembuat kebijakan. Kualitas pendidikan yang tidak sesuai dengan tujuan pendidikan, bantuan untuk orang miskin yang tidak mencapai sasaran, merupakan dua contoh masalah dalam kategori ini.

Masalah yang tergolong dalam kategori masalah ilmiah adalah kenyataan-kenyataan yang tidak sesuai dengan teori ilmu pengetahuan. Dalam psikologi terdapat “teori hukuman” yang menjelaskan bahwa hukuman yang diberikan kepada anak akan mengubah perilakunya ke arah yang positif. Tetapi dalam kenyataannya, anak-anak yang diberi hukuman itu perilakunya justru semakin mengarah pada hal-hal yang negatif, bahkan hukuman itu menanamkan dendam kepada orangtuanya.

2. Menemukan Masalah penelitian

Kesulitan menemukan masalah bukan disebabkan oleh ketiadaan masalah itu sendiri, sebab masalah dalam penelitian bersifat tak terbatas. Peneliti yang sedang mencari masalah dapat dianalogikan seorang yang berbelanja di supermarket besar, bukan barangnya yang tidak ada, sulit dicari atau tidak ada barang yang menarik, melainkan bagaimana memilih barang yang dpat menjawab persoalan kebutuhannya yang paling dasar (primer) berdasarkan kemampuan finansial, pengetahuan terhadap barang itu sendiri, keterbatasan waktu, dan sebagainya. Semua barang yang ada di supermarket merupakan barang yang menarik bagi subyek tertentu yang membutuhkannya berdasarkan konteks yang dihadapi. Ada orang cukup banyak uang tetapi tidak mampu memperoleh barang yang berkualitas karena keterbatasan pengetahuan terhadap barang itu sendiri. Sebaliknya ada yang memiliki pengetahuan cukup tentang barang yang berkualitas tetapi keuangan tidak memadai.

Kemampuan menemukan masalah ditentukan antara lain oleh kepekaan (sensitivitas) dan kesediaan mengambil jarak dengan realitas sehari-hari (seperti rutinitas, kebenaran, fenomena alam dan kejadian di sekitar kita). Penemuan gaya grafitasi bumi, adalah berkat kemampuan Newton mengambil jarak terhadap fenomena alam (yaitu buah apel yang jatuh dari pohonnya) yang mungkin menurut orang lain bahwa buah jatuh dari atas ke bawah merupakan hal biasa. Clifford Geertz mampu menemukan tipologi masyarakat Jawa dalam varian abangan, santri dan priyayi adalah berkat kejelian dan kepekaannya dalam melihat realitas masyarakat Jawa.

Masalah sosial sering menampakkan diri pada conflict issues yang dapat ditangkap dari peristiwa yang ada dalam masyarakat. Isu-isu seperti itu dapat ditangkap melalui pengamatan lansung, atau dari surat kabar, atau media massa lainnya, atau dari pokok-pokok pembicaraan yang berkembang dalam masyarakat. Pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan membantu kita mengetahui pokok permasalahan dari isu tersebut. Seperangkat gejala umum perlu dipelajari untuk bisa menemukan isu seperti “demokrasi”, kualitas sumber daya manusia”, “pengangguran”, “kualitas beragama masyarakat”, “kualitas pendidikan”, “relevansi dakwah”, dan sebagainya.

Bertitik tolak dari isu tersebut kita berusaha merumuskan masalah yang menjadi fokus penelitian kita. Dari isu yang pragmatis tersebut dapat pula ditarik sejumlah masalah, tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Di sinilah pentingnya teori sebagai acuan dalam melihat masalah. Gambar berikut memperlihatkan bagaimana menemukan masalah dari isu yang ada dengan mempertemukan gejala-gejala factual (empiris) dengan teori.

















Beberapa cara melatih kepekaan dalam melihat fenomena sosial di seputar kita sehingga akan memudahkan penemuan masalah penelitian adalah :
1. membaca sebanyak-banyak buku yang relevan dengan bidang yang kita tekuni dan bersikap kritis terhadap apa yang kita baca
2. menghadiri kuliah atau ceramah diskusi dan seminar atau forum ilmiah lainnya
3. mengadakan pengamatan dari dekat situasi atau peristiwa di sekitar kita
4. mengembangkan pemikiran kemungkinan penelitian dengan topik yang didapat waktu kuliah
5. menghadiri seminar hasil penelitian 
6. berkunjung ke perpustakaan untuk memperoleh topik penelitian
7. berlangganan jurnal atau majalah yang sesuai dengan bidang atau disiplin keilmuan kita
8. mengumpulkan bahan-bahan yang berhubungan dengan bidang kita
9. dan sebagainya 

3. Kriteria Masalah Penelitian

Penemuan masalah penelitian bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Ada sejumlah kriteria yang dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam penemuan masalah penelitian, antara lain (1) merupakan bidang masalah dan topik yang menarik, (2) mempunyai signifikansi secara teoritis atau praktis, (3) dapat diuji melalui pengumpulan dan analisis data, (4) sesuai dengan waktu dan biaya yang tersedia. 

Empat kriteria tersebut kemudian digunakan untuk menganalisis masalah yang telah kita pilih. Adapun langkah-langkah analisis terhadap masalah yang sudah kita pilih itu adalah sebagai berikut.

Pertama, analisis subtansi masalah itu sendiri. Masalah yang dipilih memiliki relevansi akademik dalam arti termasuk bidang kaji keilmuan apa, misalnya sosiologi, psikologi, komunikasi, manajemen, teologi dan lain sebagainya. Dengan mengetahui dan memahami kedudukan masalah dalam konteks keilmuan yang ada, peneliti dapat menelisik dan mendalami permasalahan itu dan mendudukkan dalam pokok bahasan bidang ilmu dimaksud. Dengan cara ini, seorang peneliti akan memiliki pangkal tolak dan perspektif keilmuan yang ada.

Kedua, analisis teori dan metode. Masalah yang dipilih sebainya dapat dicari rujukan kepustakaan, perspektif teoritis, dan metodenya. Dengan pertimbangan ini dapat ditelusuri kajian pustaka baik berupa buku, jurnal atau hasil riset terdahulu, dan peneliti akan semakin tajam dan terfokus dalam penelitiannya. Perspektif teoritis berguna bagi peneliti agar memiliki starting point dan point of view yang jelas sehingga ia akan semakin peka dan kritis dalam menvermati setiap fenomena.

Ketiga, analisis institusional. Jenis, bobot dan tujuan penelitian hendaknya disesuaikan dengan institusi di mana peneliti mempersembahkan penelitiannya. Penelitian untuk persyaratan memperoleh gelar akademik (skripsi, tesis, dan desertasi) tentu berbeda dengan penelitian pesanan (action research, evaluation research).

Keempat, analisis metodologis. Masalah yang diangkat hendaknya terjangkau baik dari segi metode pengumpulan data atau datanya itu sendiri. Penelitian yang melibatkan para elit (presiden, gubernur, ketua partai dan kalangan birokrat lainnya) umumnya lebih sulit dilakukan –secaraprosedural—daripada meneliti masyarakat awam. Juga harus dipertimbangkan factor ketersediaan data, apakah cukup datanya dan mudah didapat. 

Kelima, masalah yang dipilih hendaklah actual, berarti dan bermakna. Peneliti mestinya menghindari masalah yang sudah banyak diteliti. Peneliti juga harus mempertimbangkan nilai manfaat praktis atau konkrit jika masalah tersebut diteliti. Nilai manfaat tersebut sedapat mungkin dirasakan oleh peneliti, institusi, masyarakat maupun pengembangan ilmu.

Secara sederhana (untuk mudah mengingat) bahwa dalam memilih masalah penelitian dapat menggunakan Empat Relevansi (4R), yaitu relevansi akademik, relevansi insitusional, relevansi sosial, dan relevansi personal.
 



Minggu, 06 September 2009

PEMBAGIAN TUGAS MP KUALITATIF 5A, 5B

Pembagian Tugas Kelompok Penyusunan Paper MP Kualitatif
Kelas : 5A

Kelompok I : Topik : Mengenal Penelitian Kualitatif
Lia Kholifah
Khoiril Anwar
Sholihul Abidin

Kelompok II : Topik : Langkah-langkah Penelitian Kualitatif
Lucky Mashita Imania
Muhammad Al-Haddad
Umar Muhtar Asadullah

Kelompok III: Topik : Masalah/Fokus Penelitian Kualitatif
Fikri Setiawan
Arifatul Khoiriyah
Kholid Noviyanto

Kelompok IV: Topik: Teori dan Design Penelitian Kualitatif ; Grounded Theory dan Fenomenology
Mahfut Hadi
Aan Sutanto
Diah Ambarwati

Kelompok V : Topik : Teori dan Design Penelitian Kualitatif : Etnometodology dan Interaksi Simbolik

Tri Wahyuningsih
Muhammad Anis
Rokhmatin NIsa

Kelompok VI : Topik : Teknik Pengumpulan Data Penelitian Kualitatif
Mansyuriah Novitasari
Uchti Utami
Siti Yuliana

Kelompok VII : Topik: Analisis Data Kualitatif
Devi Marcellina
Khoirul Huda
Mir’atul Hikmah

Kelompok VIII: Topik : Teknik Keabsahan Data
Lailatul Zuhriyah
Ana Mariana

Kelompok IX: Proposal dan Laporan Penelitian Kualitatif
Lisa Sri Rahmatullah
Ahmad Habib
Yudi Fauzi
Pembagian Tugas Kelompok Penyusunan Paper MP Kualitatif
Kelas : 5B


Kelompok I : Topik : Mengenal Penelitian Kualitatif
Nun Ahsan
Anisatul Islamiyah

Kelompok II : Topik : Langkah-langkah Penelitian Kualitatif
Agus Susanto
Muhammad Sholeh Anwar

Kelompok III: Topik : Masalah/Fokus Penelitian Kualitatif
Zaki Yamani
Ahmad Amrullah
Rizki Haqqul Yaqin

Kelompok IV: Topik: Teori dan Design Penelitian Kualitatif ; Grounded Theory dan Fenomenology
May Aini Lutfi Azizah
Miftahul Fikri
Shella Syahfiani

Kelompok V : Topik : Teori dan Design Penelitian Kualitatif : Etnometodology dan Interaksi Simbolik
Yahya
Ahmad Alimul Ghoffar
Kholifah Rusdiana

Kelompok VI : Topik : Teknik Pengumpulan Data Penelitian Kualitatif
Ahmad Hayyan Najikh
Asna Istya Marwantika
Mahfudz

Kelompok VII : Topik: Analisis Data Kualitatif
Ahmad Wajdi
Siti Ma’zumah
Badrul Munir

Kelompok VIII: Topik : Teknik Keabsahan Data
Mustainah
Hasbullah Iqbal

Kelompok IX: Proposal dan Laporan Penelitian Kualitatif
Lutfi Bari Hasani
Mahfudz
Supriyono

Catatan : tugas dikirim via email paling lambat tanggal 26 Oktober 2009

MATERI MP KUALITATIF 5A, 5B : PERTEMUAN 1


MENGENAL PENELITIAN KUALITATIF

A. Karakteristik Penelitian Kualitatif

1. Sejarah Pertumbuhan Pendekatan Kualitatif

Pada tataran metodologi, semenjak awal pertumbuhan ilmu-ilmu sosial sudah dikenal dua madzhab penelitian, yaitu pertama madzhab penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif. Kedua madzhab penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif.

Munculnya dua madzhab pendekatan penelitian tersebut merupakan konsekuensi metodologis dari perbedaan asumsi masing-masing mengenai hakikat realitas dan hakikat manusia itu sendiri. Artinya, hadirnya dua pendekatan penelitian tersebut tidak lepas dari perbedaan paradigma antara keduanya di dalam memandang hakikat realitas sosial dan hakikat manusia.

Pendekatan penelitian kuantitatif lahir dan berkembang dari tradisi (main streams) ilmu-ilmu sosial Perancis dan Inggris yang sangat dipengaruhi oleh tradisi ilmu-ilmu kealaman (natural sciences). Pendekatan ini kental diwarnai oleh aliran filsafat materialisme, realisme, naturalisme, empirisisme, dan positivisme. Dari sinilah lahir dan berkembang ilmu sosial berwajah positivisme yang mengedepankan pendekatan kuantitatif sebagi satu-satunya cara handal untuk menjelaskan fenomena sosial (perilaku manusia).

Jauh sejak abad ke-17 pendekatan kuantitatif berkembang pesat dan mendapatkan pengikut yang luas di kalangan komunitas keilmuan, yang pada akhir abad ke-19 ilmuan sosial ikut ke dalam main stream ini. Memasuki abad ke-20 tradisi kuantitatif semakin mendominasi metode penelitian, sedangkan pendekatan kualitatif baru diikuti oleh kalangan terbatas (disiplin antropologi dan bahasa). Penelitian dalam bidang psikologi, pendidikan, dan kedokteran adalah disiplin yang paling kuat dipengaruhi oleh pendekatan kuantitatif.

Sedangkan pendekatan kualitatif lahir dan berkembang dari tradisi ilmu-ilmu sosial Jerman yang sarat diwarnai pemikiran filsafat Platonik sebagaimana kental tercermin pada pemikiran Kant maupun Hegel. Penelitian kualitatif diwarnai banyak oleh aliran filsafat idealisme, rasionalisme, humanisme, fenomenologidsme dan interpretativisme. Dari sinilah lalu berkembang ilmu sosial interpretativisme yang mengagungkan dan mengunggulkan pendekatan kualitatif sebagai satu-satunya cara handal dan relevan untuk bisa memahami fenomena sosial.

Merujuk pada deskripsi di atas, untuk lebih memudahkan pemahaman, maka perkembangan pendekatan penelitian dapat dibagi menjadi tiga tahap. Pertama, tahap ketika metode kuantitatif sangat dominan, yaitu sebelum tahun 1940-an sampai akhir tahun 1970-an. Pada periode ini, penelitian ilmu sosial umumnya didominasi oleh metode kuantitatif. “Everything should and can be quantified”menjadi pegangan para peneliti. Mereka yakin bahwa apapun yang dapat didefinisikan akan dapat dihitung dan bahwa penelitian yang sahih secara ilmiah adalah yang memiliki tingkat generalitas yang tinggi. Muncul kecenderungan serba-kuantitatif.

Memasuki pertengahan tahun 1960-an metode kualitatif mulai mendapatkan banyak pengikut, tatkala dirasakan adanya kejenuhan pada metode kuantitatif untuk menjawab persoalan ilmu-ilmu sosial yang semakin kompleks. Metode ini secara meyakinkan tampil sebagai kekuatan baru yang mengimbangi bahkan menjadi pesaing metode kuantitatif. Inilah yang disebut dengan tahap kedua yang mencapai masa keemasannya pada pertengahan 1980-an hingga awal 1990-an. Pada periode ini, asumsi-asumsi lama tentang penelitian digugat kembali dan dibangun paradigma baru yang kemudian hari dikenal dengan paradigma naturalistic, konstruktivistik, pos-positivistik, dan pos-modernisme serta istilah-istilah lainnya.

Pendekatan kualitatif kemudian dianggap lebih mampu memahami realitas sosial yang lebih kompleks. Pendulum pun bergerak begitu keras dari ekstrim kuantitatif ke ekstrim kualitatif.

Penelitian kualitatif sesungguhnya merupakan suatu istilah umum yang memayungi berbagai metode yang sangat beragam dengan menggunakan label yang beragam pula, antara lain kualitatif (untuk menggambarkan sifat data), naturalistic (untuk setting penelitian), grounded research (sifat induktif penelitian), fenomenologis (pemaknaan realitas), etnografi (cara kerja di lapangan), hermeneutic (interpretasi), verstehen (cara menarik inferensi), iluminatif (cara menarik inferensi), participant observation (cara kerja peneliti). Peneliti tidak usah terjebak oleh labeling yang berbeda, karena banyak kesamaan di antara semuanya, meskipun ada juga perbedaan dalam penekanannya.

Pada dasawarsa 1990-an metode penelitian mulai memasuki apa yang disebut dengan periode ketiga, yaitu ketika mulai terjadi perimbangan antara kedua metode itu dengan perhatian lebih difokuskan pada apa masalahnya dan metode apa yang paling sesuai untuk digunakan. Perkembangan ini merupakan reaksi dari trend serba-kualitatif yang dinilai tidak sehat bagi perkembangan penelitian. Jadi ada kemiripan dalam perkembangan tahap pertama dan kedua tersebut. Pada saat metode kuantitatif sedang berjaya, peneliti belum apa-apa sudah memutuskan untuk mendekati masalahnya berdasarkan definisi operasional variabel yang ketat, kemudian dijabarkan ke dalam instrumen peneltian, dilakukan survai atau eksperimen dan ditarik generalisasi. Begitu juga pada saat metode kualitatif sedang mencapai puncak keemasan, ada trend peneliti untuk memilih pendektan kualitatif bahkan jauh sebelum masalah penelitiannya sendiri jelas benar. Akibatnya, terjadi trend serba kuantitatif (yang penting kuantitatif) di satu pihak, dan serba-kualitatif (atau yang penting kualitatuf) di pihak lain. Inilah yang dijembatani pada tahap ketigha ketika muncul pendakatan gabungan (mixed approach) antara kedua tradisi tersebut.

Satu hal yang perlu dicatat adalah pada tataran filosofis atau paradigmatic memang ada perbedaan kontras dalam asumsi-asumsi epistemologis, ontologis dan aksiologis antara pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Akan tetapi pada saat seorang peneliti sudah berhadapan dengan masalah penelitiannya, maka perbedaan yang kontras tersebut menjadi lebur, tidak lagi setajam dalam teori.
Realitas Sosial dan Hakikat Manusia

Dalam tradisi pemikiran positivisme (aliran yang dominan mendasari pendekatan kuantitatif), manusia dipandang sebagai makhluk jasmaniah biasa yang sehari-harinya berperilaku (melakukan respons) bergantung kepada stimulus yang menerpa pada dirinya dan atau bergantung pada tuntutan organismik yang secara alamiah (kodrati) tersimpan dalam diri manusia itu sendiri. Itu berarti, perilaku manusia tidak lebih dari suatu respon yang sifatnya otomatis dan mekanistik; penyebabnya bisa terletak pada kekuatan yang berasal dari dalam maupun dari luar diri manusia itu sendiri. Penyebabnya bisa bersifat internal dan juga eksternal. Oleh sebab itu, fenomena sosial dipandang sebagai sebagai akibat atau fungsi dari bekerjanya factor organismik dan atau struktur sosial tertentu. Penjelasannya mengapa demikian harus dicari pada factor atau variabel di tingkat organismik dan atau struktur sosial itu sendiri.

Dari sinilah lahir tradisi penelitian yang berupaya mengidentifikasi dan mengukur factor-faktor apa saja atau variabel apa saja yang mempengaruhi atau menyebabkan sesuatu fenomena. Hal inilah kemudian seperti dijumpai ada penelitian korelasional, komparasi yang selama ini dibantu analisis statistik.

Tradisi ilmu sosial interpretativisme, manusia dipandang sebagai makhluk ruhaniah. Dalam pandangan ini manusia selaku makhluk sosial, sehari-hari bukanlah “berperilaku” melainkan “bertindak”. Menurut aliran ini, istilah “perilaku” berkonotasi mekanistik dan bersifat otomatis. Pada hal tingkah laku sosial manusia selalu melibatkan niat, pertimbangan, dan alasan-alasan tertentu. Manusia itu bertindak bukan berperilaku. Term bertindak (action) mempunyai konotasi tidak mekanistik melainkan melibatkan niat, kesadaran dan alasan-alasan tertentu. Ia bersifat intensional, melibatkan makna dan interpretasi yang tersimpan di dalam diri sang manusia pelaku sesuatu tindakan.

Atas dasar itu, realitas sosial sesungguhnya bersifat maknawi. Artinya sangat bergantung pada makna dan interpretasi yang diberikan oleh manusia yang memandangnya. Suatu objek, keadaan, kondisi, situasi atau apa saja (dalam fenomena sosial) bisa memiliki ragam makna tergantung apa yang ada di benak manusia yang memaknainya. Pertandingan sepak bola di stadion Gelora 10 Nopember Surabaya oleh Bonekmania akan dimaknai sebagai kesempatan untuk menikmati pertandingan sepakbola. Sementara bagi pencopet, akan memaknainya sebagai peluang emas untuk merogok dompet penonton. Lain pula maknanya bagi tukang parkir kendaraan di sekitar stadion, atau bagi calo tiket yang gentayangan di luaran stadion yang nguber-uber calon penonton.
Sekali lagi, suatu fenomena sosial barulah bisa dipahami jika memahami dunia makna yang tersimpan dalam diri para pelakunya. Dunia makna itulah yang perlu dibuka, dilacak, dan dipahami untuk memahami fenomena sosial apapun, kapan pun, dan di mana pun. Termasuk bila ingin memahami karya manusia yang telah menyejarah, maka memahaminya bukan dengan jalan mencari penjelasan (explanation) ala positivisme yang biasanya kalang kabut mencari variabel penyebab, entah itu dari keranjang organismik ataukah dari keranjang struktur sosial.

Mengikuti alur berpikir seperti di atas, lalu lahir penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang sifatnya umum terhadap fenomena sosial dari perspektif partisipan. Pemahaman tersebut tidak ditentukan terlebih dahulu, tetapi didapat setelah melakukan analisis terhadap fenomena sosial yang menjadi fokus penelitian. Berdasarkan analisis tersebut kemudian ditarik kesimpulan berupa pemahaman umum yang sifatnya abstrak penomena.

Karakter khusus penelitian kualitatif adalah berupaya mengungkapkan keunikan individu, kelompok, masyarakat dan atau organisasi tertentu dalam kehidupannya sehari-hari. Untuk mengungkapkan keunikan subyek tersebut (individu, kelompok, masyarakat, organisasi) secara komprehensif dan serinci mungkin. Pendekatan kualitatif merupakan metode penelitian yang diharapkan dapat menghasilkan suatu deskripsi tentang ucapan, tulisan atau perilaku yang dapt diamati dari suatu individu, kelompok, masyarakat atau organisasi dalam suatu setting tertentu pula. Kesemuanya itu dikaji dari sudut pandang yang utuh, komprehensif dan holistic.

Karakter yang seperti inilah sehingga ada anggapan pendekatan kualitatif lahir sebagai reaksi pendekatan positivistaik (kuantitatif). Pendekatan kuantitatif selalu mengandalkan seperangkat fakta sosial yang bersifat objektif atas gejala yang nampak mengemuka, sehingga metodologinya cenderung melihat fenomena hanya dari kulitnya saja dan tidak mampu memahami makna di balik gejala yang tempak tersebut.

Ciri-ciri yang membedakan Kualitatif dan Kuantitatif

Ada tujuah buah cirri penelitian kualitatif yang membedakannya dengan penelitian kuantitatif. Pertama, dilihat dari kerangka teori. Penelitian kuantitatif menuntut penyusunan kerangka teori sedeangkan kualitatif menolak sepenuhnya penggunaan kerangka teoretik sebagai persiapan penelitian. Membuat persiapan teoretik seperti itu hanya akan menghasilkan penelitian yang artificial dan jauh dari sifat naturalnya.

Kedua, ada tidaknya hipotesis. Penelitian kualitatif tidak terikat oleh hipotesis, mengingat hipotesis muncul karena adanya kerangka teoretik yang mendahuluinya. Di samping itu, penelitian kualitatif tidak melihat kerangka teori yang mendahulinya. Penelitian kualitatif berangkat dari pikiran kosong dalam rangka membangun suatu konsep atau proposisi. Andai dalam suatu penelitian yang mnegklaim menggunaan pendekatan kualitatif tetapi di dalamnya masih terdapat kerangka teori, maka ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama bahwa teori yang ada dalam penelitian itu hanya sekadar untuk lampu senter atau tongkat pada saat kegelapan. Bisa jadi senter atau tongkat itu digunakan untuk meraba atau bahkan dibuang ketika mendapatkan hal yang baru dari lapangan. Kemungkinan kedua penelitian itu tidak sepenuhnya kualitatif mengingat penelitian jenis ini membutuhkan waktu cukup lama sementara keterbatasan waktu penelitian membuat peneliti tidak berani mengklaim pendekatan yang digunakan sepenuhnya kualitatif.

Ketiga, ada tidaknya variabel. Dalam melihat suatu fenomena, penelitian kualitatif berusaha melihat objek dalam konteksnya dan menggunakan tata piker logic lebih dari sekadar linear kausal. Penelitian kualitatif tidak menentukan variabel dan indicator variabel serta tidak berusaha mengukur variabel itu apalagi mengkuantifikasikan.

Keempat, hubungan peneliti dan responden. Peneliti dalam mengumpulkan data berfungsi sebagai instrumen utama yang berupaya mencapai wawasan imajinatif ke dalam dunia sosial responden, fleksibel, reflektif, dan tidak mengambil jarak dengan responden. Caranya peneliti melakukan observasi terlibat dan wawancara mendalam. Untuk melakukan kedua hal tersebut peneliti harus mampu membina rapport (bauran-hubungan antara peneliti dan subjek seolah-olah tidak ada lagi dinding pemisah antara keduanya).

Kelima, metode analisis data. Analisis penelitian kualitatif tidak bisa hanya dilakukan secara linier akan tetapi harus menggunakan analisis iterative. Analisis iterative ditujukan untuk kecermatan penelitian kualitatif dan menjaga kualitas hasil penelitian. Analisis iterative maknanya dalah semua komponen analisis, yaitu pengumpulan data, reduksi data, display data dan kesimpulan dilakukan secara simultan atau siklus.

Keenam, proses dan hasil. Penelitian kualitatif lebih mementingkan proses dibanding hasil. Hal ini karena hubungan bagian-bagian yang sedang diteliti akan jauh lebih jelas apabila diamati dalam proses. Juga penelitian kualitatif itu lebih mementingkan kedalaman materi yang diteliti dan bukan pada luasnya materi yang diteliti.

Ketujuh, responden dan sample. Penelitian kualitatif tidak mengenal istilah random sampling, ukuran sampel, luas sampel dan teknik sampling. Dalam penelitian kualitatif lebih dikenal istilah informan dan snowball-sampling. Untuk kuantitatif, semakin besar sampel akan semakin kecil kesalahan sampling. Tetapi dalam kualitatif banyak sedikitnya informan tidak menentukan akurat dan tidaknya penelitian. Bahkan dalam penelitian kualitatif bisa jadi informannya hanya satu orang.


B. Pertimbangan Melakukan Penelitian Kualitaif

1. karena sifat masalah itu sendiri yang mengharuskan menggunakan penelitian kualitatif. Misalnya, penelitian yang bertujuan menemukan sifat suatu pengalaman seseorang dengan fenomena, seperti gejala kesakitan, konversi agama, atau gejala ketagihan
2. karena penelitian yang dilakukan bertujuan untuk memahami apa yang tersembunyi di balik fenomena yang terkadang merupakan sesuatu yang sulit untuk diketahui atau dipahami.

C. Kritik Terhadap Penelitian Kuantitatif

Pendekatan kuantitatif pertama dikembangkan Descartes dengan metode “deduktif”nya. Lalu pendekatan ini dikembangkan Comte yang kemudian dikenal dengan sebutan pendekatan positivisme. Pendekatan kuantitatif bermula dari studi ilmu-ilmu alam (natural sciences) berupa pengkajian yang mengharuskan semua diukur dengan angka-angka kuantitatif secara ontologis dan harus diletakkan pada tatanan realisme.

Metode positivisme selalu mendapat kritik. Bacon memperkenalkan metode “induktif” do abad ke-17 sebagai reaksi dari deduktif untuk keluar dari jeratan pendekatan positivisme yang saat itu merambah ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Menurut Bacon pendekatan positivisme yang diterapkan untuk ilmu humaniora dan sosial banyak membelenggu empirisme dan rasionalisme subjek kajian. Pendekatan ini hanya mampu beroperasi mengupas “kulitnya” dan dianggap gagal mengungkap realitas sosial yang unik dan beragam.

Sekurang-kurangnya ada dua macam kritik yang ditujukan pada penelitian kuantitatif. Pertama, kritik bersifat intra-paradigmatik, dan kedua ekstra-paradigmatik.

Kritik intra-paradigmatik terkait dengan ha-hal (1) uraian kontekstual bahwa kajian kuantitatif terbatas pada desain eksklusifisme, terbtas pada kajian variabel tertentu dan menghilangkan makna generalisasi. Sedangkan kualitatif justru sebagai penyeimbang informasi kontekstual. (2) terkait dengan arti dan tujuan bahwa kajian terhadap manusia tidak seperti pada kajian kebendaan yang bersifat static dan linear (3) kuantitatif tidak dapat mempertemukan antara teori yang bersifat umum (grand theory dengan konteks local sehingga dijumpainya dilemma etik dan emik. Sedangkan kualitatif dapat mengungkapnya (4) pendekatan kuantitatif kabur dalam mengungkap kasus atau keunikan individu. (5) dalam kuantitatif yang disebut ilmiah adalah yang empirik sedang dalam kualitatif yang disebut ilmiah adalah yang alamiah.

Kritik ekstra-paradigmatik terkait dengan hal-hal (1) mulai ditolaknya pendapat bahwa data digunakan sekadar untuk menguji hipotesis dalam pola kajian konvensional. (2) suatu fakta tidak hanya dapat dilihat hanya pada satu jendela teori karena jendela teori yang berbeda memungkinak ditopang oleh perangkat fakta yang sama, sehingga kebenaran riil tak memungkinkan didapat atau diketahui, (3) bahwa fakta tidak hanya dapat dilihat dari satu jendela teori tetapi juga harus dilihat dari jendela nilai, (40 dalam paradigma konvensional peneliti seolah berdiri di belakang cermin sehingga diragukan objektivitas temuan pada fenomena yang dikaji jika dibandingkan pada studi kualitatif di mana peneliti langsung berada di tengah-tengah subyek yang dikaji.

Masih banyak lagi kritik terhadap penelitian kuantitatif. Charles Hampden-Turner, misalnya menegaskan bahwa apa yang muncul dari perspektif positivistic adalah gambaran manusia yang jauh dari objektif dan bebas nilai. Hampden-Turner melukiskan perspektif tersebut sebagai konsrvatif dan biased. Lebih jauh, Hampden-Turner mengemukakan bahwa penelitian kuantitatif itu:

Berkonsentrasi pada aspek-aspek perilaku manusia yang diulang-ulang, dapat diramalkan dan tidak berubah. Tampaknya, perpektif ini membernarkan subjek manusia yang kompulsif, obsesif dan ritualistic, sebaliknya tidak mengakui pentingnya kreativitas dan kebaruan dalam kehidupan manusia
Berkonsentrasi pada “eksternalitas yang dapat dilihat” yang “terbuka untuk dilihat oleh umum”, dan bukan pada dunia mimpi subjektif, filsafat dan seluruh kehidupan mental orang-orang yang gerakan fisiknya kita amati
Berkonsentrasi pada berbagai bagian orang, menganalisis bagian-bagian itu untuk memahami keseluruhannya. Betapa pun manusia itu tidak terbagi-bagi.

D. Kritik terhadap Penelitian Kualitatif

Sebagai dijelaskan di atas, penelitian kualitatif lahir sebagai reaksi metodologi positivistic. Penelitian kuantitatif selalu mengandalkan seperangkat fakta sosial yang bersifat objektif atas gejala yang tampak mengemuka, sehingga metodologi ini cenderung melihat fenomena hanya dari aspek eksternalitasnya saja dan tidak mampu memahami makna di balik gejala yang tampak tersebut.

Meski demikian, penelitian kualitatif juga masih mendapat kritik yang cukup keras dari para ahli kuantitatif. Pendekatan kualitatif oleh mereka dinilai banyak kekurangannya, seperti hasil penelitiannya tidak representatif, terlalu bersifat subjektif, tidak dapat digunakan untuk menggeneralisasikan suatu fakta sosial secara universal, dan hanya dapat digunakan pada wilayah kontekstual, serta cenderung melebih-lebihkan pada penghargaan terhadap subjektivitas individu, kelompok, masyarakat, dan suatu organisasi tertentu.

PEMBAGIAN TUGAS PAPER MPS: KELAS 3H2,3H1

PEMBAGIAN KELOMPOK TUGAS PENYUSUNAN PAPER MPS
KELAS : 3 H2


Kelompok I : Topik: Peranan Penelitian
Richa Sholihah
Erlina
Rustina
Lailatul Nur Faiza
Moh. Nurul Efendi

Kelompok II : Topik: Pengertian Penelitian
Khasif Maulida
Mohmammad Syahrul Kirom
Muniah
Imaroh An Nahdhiyah

Kelompok III : Topik : Kalsifikasi Penelitian
Kholdani Nur Ubaidillah
Mochamad Syaefuddin
Umi Nur Hayati
Ahmad Syaifuddin Zuhri

Kelompok IV : Topik: Masalah Penelitian
Martin Kusumadewi
Ajeng Maysaroh
Dany Indra Laksamana
Sri Widowati

Kelompok V Topik: Elemen Dasar Penelitian (Konsep, Variabel, Indikator Variabel, Definisi Operesional, hipotesis, teori)
1. Qudsiyah
2. Achmad Mahmudi
3. Hermanto
4. Mahyatin Hikmah
5. Eka uni

Kelompok VI Topik:: Populasi, Sample dan Teknik Sampling
1. Retno Wijianti
2. Etty Nur Jannah
3. Nurul Fatimah
4. Dyan Retno Wulan
5. Syamsul

Kelompok VII Topik: Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Data
Mutmainnah
Dewi Zubaidah
Irma Wahyu Riwayati
Muqoddimatus Shiyami

Kelompok VIII Topik : Instrumen Pengumpul Data
Alis Kandari
Syarif Saiful Hadi
Arviani Damayanti
Choiron Ichsan

Kelompok IX Topik: Analisis Data
M. Ari Nizarullah
Maya Galuh
Bagus Kunto Prasistya
Dini Fatmawati

Kelompok X Topik : Proposal Penelitian
Nur Hashomah
Rahmad Yunus Bachtiar
Nur Fitriyah
Audinda Oktavirani Putri

Kelompok XI Topik : Laporan Penelitian
Farhan Lidinillah
M. Imam Efendi
Andriyani
Muh. Arif Budiman




PEMBAGIAN KELOMPOK TUGAS PENYUSUNAN PAPER MPS
KELAS : 3 H1

Kelompok I: Topik: Peranan Penelitian
Achmad Safi’i
Lani Purnamasari
Ibrahim Ahmad Amar
Nurul Aini Maftuhah

Kelompok II: Topik: Pengertian Penelitian
Noor Kumala
Anis Mas’ulah
Mochammad Romadhoni
M. Faizal Ferbianto

Kelompok III: Topik : Kalsifikasi Penelitian
M. Daniel Falakhi
Arizal Dwi Irmawan
Saiful Bakri
Jovi Akita Pradana

Kelompok IV: Topik: Masalah Penelitian
Additya Artas
Ratih Ayu Puspita
Moch Dwi Ridwan
Wahyu Zam Pratama

Kelompok V Topik: Elemen Dasar Penelitian (Konsep, Variabel, Indikator Variabel, Definisi Operesional, hipotesis, teori)
Fany Ariyanti
Adi Sulthon
Bagus Dwiyanto
Andi Haryawan

Kelompok VI Topik:: Populasi, Sample dan Teknik Sampling
Reksa Buana Alim D
Dwi Lestari
Rizky Nuraini
Achmad Syaifullah

Kelompok VII Topik: Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Data
Syamsur Rizal
Desi wulan Sari
Amirullah Zuhri

Kelompok VIII Topik : Instrumen Pengumpul Data
Nasukhah
Diana Hermawati
Muhammad Ilham
Nur Fitriyah

Kelompok IX Topik: Analisis Data
Aqidah Hasri Utami
Masbuchin
Feni Hardiyanti

Kelompok X Topik : Proposal Penelitian dan Laporan Penelitian
Hendriyanto
Mohammad Syihabuddin

Catatan : Tugas dikirim via email paling lambat tanggal 22 Oktober 2009

Rabu, 02 September 2009

Materi MPS

Materi MPS : Pertemuan 2

Peranan Penelitian dalam Pengembangan Ilmu Komunikasi

A. Pemahaman Ke-arah Pengertian Penelitian

1. Motivasi Melakukan Penelitian
Hakikat penelitian dapat dipahami dengan mempelajari aspek motivasi yang mendorong manusia untuk melakukan penelitian. Setiap orang mempunyai motivasi yang berbeda, diantaranya dipengaruhi oleh tujuan dan profesi masing-masing. Dosen, mahasiswa, manajer, konsultan bisnis, masing-masing mempunyai motivasi dan tujuan tertentu dalam melakukan penelitian. Motivasi penelitian secara umum pada dasarnya sama yaitu bahwa penelitian merupakan refleksi dari rasa keingintahuan manusia untuk mengetahui sesuatu (human curiosity). Karena dorongan ingin tahu tersebut, semenjak masa kanak-kanak manusia cenderung mempertanyakan berbagai hal yang belum diketahui dan belum dipahaminya. Dorongan dan kecenderungan tersebut, mengisyaratkan adanya keinginan manusia untuk lebih memahami dunia dimana ia hidup, baik “dunia alam maupun dunia sosial”.[1]
Dorongan dan kecenderungan tadi dipermudah oleh kemampuan mengabstraksi dan berbahasa yang dipunyai oleh manusia, memungkinkan manusia untuk berkomunikasi, belajar dan menyimpan perbendaharaan pengetahuannya dalam sejumlah lambang, symbol atau konsep; semuanya itu ikut mempermudah tersalurnya dorongan ingin tahu manusia sehingga memungkinkan berkembangnya perbendaharaan pengetahuan manusia dari waktu ke waktu, baik mengenai dunia alam maupun dunia sosial.[2] Hal tersebut ditandai dengan semakin banyaknya konsep atau pengertian yang diketahui dan dipahami seseorang.
Rasa keingintahuan manusia itu diperoleh dengan proses bertanya dan menjawab. Dalam proses bertanya dan menjawab itu ada aktivitas berfikir. Berpikir adalah bertanya, bertanya adalah mencari jawaban. Mencari jawaban adalah sama dengan mencari kebenaran. Proses bertanya dan menjawab inilah sebenarnya inti penelitian itu.[3] Dari proses bertanya dan menjawab kemudian diperoleh pengetahuan yang benar oleh manusia. Dengan demikian, penelitian pada hakikatnya bertujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang sesuatu yang dianggap benar.
2. Cara Manusia Memperoleh Pengetahuan
Sebagaimana terlihat dari pembahasan di atas, kegiatan penelitian ditujukan untuk memperoleh pengetahuan. Namun demikian, dalam sejarah panjang pencarian dan penemuan kebenaran dan pengetahuan, manusia telah menempuh berbagai jalan dan cara. Cara yang pernah ditempuh manusia untuk mengetahui dan menjelaskan tentang sesuatu adalah:
a. Pertama dengan metode keteguhan (method of tenacity). Dengan cara ini orang menerima suatu kebenaran karena merasa yakin akan kebenarannya. Unsur keyakinan berperan dalam metode ini. Bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Allah, dan bukan berasal dari monyet, diterima sebagai kebenaran karena keyakinan agama. Metode ini berpegang teguh pada suatu pendapat yang sudah diyakini sejak lama, bahwa sesuatu itu benar.
b. Kedua, dengan metode otoritas (method of authority). Sesuatu diterima sebagai kebenaran karena sumbernya mempunyai otoritas untuk itu. Bahwa alam semesta adalah ciptaan Allah diterima sebagai kebenaran karena sumbernya adalah al-Quran. Pernyataan dari seorang tokoh tertentu juga diterima sebagai kebenaran karena ia mempunyai keahlian di bidang itu. Jadi kebenaran dikembalikan kepada pernyataan orang lain yang dianggap ahli dan menguasai permasalahan tersebut.
c. Ketiga, dengan intuisi atau a priori (method of intuition). Proses penemuan kebenaran melalui intuisi atau ilham sangat mungkin apabila hati manusia bersih dan pikiran jernih seperti waktu melaksanakan ritus keagamaan dan semedi. Intuisi dapat berupa sebuah keyakinan terhadap suatu pilihan yang secara akal sehat dapat dipercaya atau tidak dapat dipercaya. Intuisi dalam pandangan para filosof merupakan “suara Tuhan” yang masuk melalui ruh dan menghunjam ke dalam kalbu.
d. Keempat secara kebetulan. Kebenaran juga dapat diperoleh secara kebetulan. Walaupun demikian, kebenaran yang ditemukan sering sangat bermanfaat. Konon, penemuan pil kina (penyembuh penyakit malaria) ditemukan ketika secara tidak sengaja seseorang yang sedang mengalami panas suhu badannya terjatuh di sebuah sungai dan secara tidak sengaja pula ia meminum air sungai itu. Oleh karena di muara sungai itu tumbang sebatang pohon yang getahnya ikut larut ke air sungai tersebut dan diketahui pohon tersebut adalah pohon kina yang memiliki toksin untuk penyakit malaria. Cerita lain mengisahkan ada seorang santri menghanyutkan usus ayam milik kiainya ketika ia diperintahkan untuk mencucinya di sungai. Karena ketakutan, ia mengganti usus tersebut dengan cacing. Santri lain yang kebetulan memakan usus cacing tersebut justru dapat sembuh dari penyakit tifus yang selama ini dideritanya. Selain itu, suaranya pun semakin nyaring. Ilmu pengetahuan mutakhir membuktikan bahwa cacing mengandung unsur-unsur yang dapat membunuh virus penyebab tifus dan juga dapat dijadikan bahan untuk kosmetika.
e. Kelima dengan usaha coba-coba (trial and error). Pengethauan dengan cara ini diperoleh melalui pengalaman langsung. Sesuatu yang dianggap benar diperoleh sebagai hasil dari serangkaian percobaan yang tidak sistematis. Mula-mula dicoba, hasilnya salah, dicoba lagi, salah lagi, dicoba lagi sampai akhirnya ditemukan yang benar. Ibu-ibu dalam memasak sering melakukan usaha coba-coba untuk mendapatkan masakan sebagaimana diinginkan.
f. Keenam melalui akal sehat (common sense). Akal sehat merupakan serangkaian konsep yang digunakan untuk menyimpulkan hal-hal yang benar. Cara common sense ini sering sangat berguna namun terkadang menyesatkan. Contoh yang menguntungkan misalnya metode analogi dalam proses penetapan hukum sering hanya menggunakan akal sehat. Sapi dan kerbau diqiyaskan dengan unta. Contoh menyesatkan sekitar abad ke-19 para pendidik umumnya berkeyakinan bahwa hukuman merupakan alat utama dalam pendidikan. Kebenaran yang telah diyakini itu terbukti menyesatkan setelah diadakan penelitian. Penelitian Hurlock menunjukkan bahwa reward atau hadiah menghasilkan peningkatan yang lebih besar dalam proses belajar dibanding hukuman atau sanksi.[4]
g. Ketujuh melalui metode ilmiah (scientific method). Metode ini dilakukan melalui proses deduksi dan induksi. Permasalahan ditemukan di dalam dunia empiris dan jawabannya juga dicari di dalam dunia empiris melalui proses deduksi dan induksi yang dilakukan secara sistematis. Moh. Nazir menyebutkan enam kriteria pada metode ini, yaitu (1) berdasarkan fakta, (2) bebas dari prasangka, (3) menggunakan prinsip-prinsip analisis, (4) menggunakan hipotesis, (5) menggunakan ukuran obyektif, dan (6) menggunakan teknik kuantitatif.[5] Dengan karakteristik seperti ini ada yang menyebut metode ilmiah dengan metode positivistic. Namun mengamati perkembangan decade terakhir, di samping bersifat positivistic juga semakin popular metode naturalistic, dan rasionalistik.
Terhadap ke-tujuh metode mencari dan menemukan kebenaran di atas dapat dikategorikan bahwa cara pertama sampai dengan nomor keenam merupakan cara atau metode non-ilmiah. Sedangkan cara terakhir memenuhi kriteria pendekatan ilmiah.
B. Peranan Penelitian
Penelitian atau penggunaan metode ilmiah secara terancang dan sistematis, atau kegiatan penelaahan secara ilmiah, tidak dapat dipisahkan dengan pertumbuhan ilmu pengetahuan, baik bagi ilmu-ilmu kealaman (natural sciences) maupun bagi ilmu-ilmu sosial (social siences). Dikatakan demikian karena ilmu pengetahuan sebagai produk (a body of organized and verified knowledge), sebagaimana dikatakan Harton and Hunt, jelas merupakanhasil penelahaan dan investigasi ilmiah. Artinya pertumbuhan ilmu pengetahuan dari awal mulanya hingga sekarang ini, adalah berkat andil kegiatan penelitian yang selama ini dilakukan oleh para ilmuwan ; penelitian merupakan metode andalan para ilmuwan yang selama ini digunakan untuk menyingkap “rahasia dunia alam dan rahasia dunia sosial”.
Hal tersebut menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan, baik mengenai alam maupun sosial berkepentingan dengan penemuan pengetahuan-pengetahuan baru yang kebenarannya teruji secara ilmiah, wujudnya berupa teori atau generalisasi yang ditemukan melalui hasil penelitian. oleh karena itu penelitian merupakan pisau bedah untuk menyingkap kenyataan alam dan kenyataan sosial yang belum tersingkap.[6]
Dalam dunia sosial penggunaan metode ilmiah secara luas dalam menelaah gejala sosial baru berkembang dalam abad ke-20 ini. Mengingat masih mudanya usia penelahaan ilmiah terhadap dunia sosial dan gejala sosial itu sendiri jauh lebih kompleks dibandingkan dengangejala alam, prestasi penemuannya masih belum disebandingkan dengan apa yang dicapai oleh ilmu-ilmu kealaman.
Apapun yang telah dicapai dan ditemukan hingga sekarang baik dalam dunia alam maupun sosial, yang jelas masih tersisa demikian banyak masalah dan gejala yang belum tersingkap. Obyek penelitian masih terbentang luas, bahkan dari setiap penelitian , akan memunculkan satu atau beberapa masalah baru yang memerlukan penelitian. Dengan begitu, bangunan pengetahuan dan akumulasi pengetahuan ilmiah akan tetap menjadi tantangan dan kebutuhan untuk ditumbuhkan dan dikembangkan, jalannya adalah melalui penelitian.
Teori serta hasil-hasil penelitian mengenai sesuatu masalah dapat menjadi landasan untuk memasalahkan atau mempertanyakan sustu masalah baru, dan begitu seterusnya. Bila demikian halnya maka pertumbuhan ilmu pengetahuan akan berkembang laksana spiral, dimana penemuan-penemuan baru bertolak dari dan utnuk memekarkan atau memperkaya penemuan sebelumnya.
Peranan Penelitian dalam Praktik Komunikasi
Sebagai bagian dari ilmu-ilmu sosial, ilmu komunikasi juga akan berkembang melalui penelitian. Penelitian memegang peranan penting dalam praktik komunikasi. Proses komunikasi ditujukan untuk menciptakan komunikasi yang efektif. Dengan demikian segala bidang komunikasi , baik itu hubungan masyarakat (public relations), periklanan (advertising) , penyiaran (broadcasting), jurnalistik dan lainnya dituntut untuk menciptakan komunikasi yang efektif agar tercapai tujuan yang diharapkan. Komunikasi yang efektif mensyaratkan adanya pertukaran informasi (sharing of information) dan kesamaan makna (in tune) antara komunikator dan komunikan.
Banyak pakar memberikan batasan komunikasi efektif. Tubbs and Moss (2000:9-13) dalam bukunya Human Communication memberikan kriteria komunikasi efektif, yaitu bila terjadi pengertian, menimbulkan kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang semakin baik, dan perubahan perilaku. Bila dalam proses komunikasi khalayak tidak mengerti apa yang disampaikan komunikator, atau terjadi kerenggangan hubungan antara komunikator dengan khalayak maka terjadi kegagalan komunikasi atau komunikasinya bukan komunikasi efektif. Jadi komunikasi efektif dapat terjadi manakala ada kesamaan kerangka berfikir (frame of reference) dan bidang pengalaman atau (field of experience) antara komunikator dengan komunikan.[7]
Maka dari itu, untuk menciptakan komunikasi yang efektif maka harus dilakukan persiapan-persiapan secara matang terhadap seluruh komponen proses komunikasi: siapa komunikatornya, pesan apa yang akan disampaikan, apa medianya, sasarannya siapa, bagaimana efeknya, umpan balik, bahkan kemungkinan noise yang terjadi.
Disinilah posisi riset. Upaya-upaya menyiapkan komponen komunikasi diatas harus didasari atas data empiric yang berisi deskripsi detail tentang karakteristik masing-masing komponen. Data empiris ini tentunya hanya didapat melalui kegiatan riset, sehingga keputusan yang diambil akan mencerminkan realitas yang akan dihadapi. Misalnya : komunikator yang kredible dimata pendengar itu yang bagaimana, informasi apa yang dibutuhkan khalayak, bagaimana umpan balik khalayak terhadap pesan yang disampaikan oleh PR[8], apakah strategi kreatif sebuah iklan sesuai dengan target sasaran, bagaimana profil pembaca suatu suratkabar yang akan mempengaruhi jenis informasi yang sesuai dengan pembaca. Dan lain-lain.
Selain itu, sebagai ilmuwan ataupun praktisi komunikasi dituntut selalu mengembangkan khazanah ilmu kita melalui riset. Karena sebenarnya ilmu itu bersifat tentative (dapat didebat), perlu pemikiran baru demi pengembangan dan untuk kemaslahatan ummat. Pada dasarnya riset itu dilakukan untuk menemukan, membuktikan dan mengembangkan. Menemukan hal atau teori baru yang sebelumnya tidak ada, membuktikan sesutau dan mengembangkan teori atau hal baru yang sudah ada.
Secara garis besar manfaat riset dikelompokkan kedalam empat kelompok besar :
1. Manfaat teoritis atau akademik
Sebuah riset komunikasi diharapkan bermanfaat bagi pengembangan keilmuan melalui upaya mengkaji, menerapkan, menguji, menjelaskan atau membentuk teori, konsep maupun hipotesis tertentu. Disinilah peneliti bisa memulai risetnya dengan menanyakan apakah sebuah teori masih layak digunakan untuk menjawab fenomena atau periset mangamati fenomena yang akhirnya membentuk teori baru. Mislanya teori peluru yang disampaikan oleh Wilbur Schramm yang menganggap pengaruh media terhadap khalayak sangat kuat ( khalayak dianggap pasif). Dikritik oleh Elihu Katz dan Paul Lazarsfeld (1950) yang mengemukakan teori baru tentang aliran komunikasi dua tahap (two step flow communication) atau personal influences (pengaruh pengaruh personal yang menganggap bahwa pengaruh media itu terbatas, dan sebaliknya khalayak aktif mencari informasi.
2. Manfaat praktis
Riset yang dilakukan bermanfaat untuk konsumsi praktisi komunikasi. Biasanya riset ini sejak awal bermaksud memberikan rekomendasi bagi praktisi komunikasi, baik dibidang jurnalistik, public relations, advertising, dan sebagainya. Misal riset “tracking media” menghasilkan manfaat berupa rekomendasi kepada pengelola media tentang rubrik apa yang harus dipertahankan dan dihapuskan. Riset perilaku konsumen dapat memberikan rekomendasi kepada praktisi komunikasi pemasaran dalam menyiapkan strategi kumunikasi pemasaran yang jitu, sehingga sesuai dengan karakteristik sasaran (konsumen)
3. Manfaat sosial
Riset mempunyai manfaat bagi upaya-upaya mengubah struktur sosial. Riset ini mencoba mengkritisi struktur sosial yang menurutnya kurang ideal karena cenderung tidak adil, didominasi oleh kelonpok tertentu dan mengasingkan kelompok marginal. Isi komunikasi dianggap cenderung memihak kepada kelompok tertentu yang berkuasa. Karena itu riset ini masuk dalam kategori aliran kritis. Karena itu riset yang masuk dalam kategori ini dikenal dengan aliran kritis. Contoh ditemukan pada riset media studies atau critical studies, seperti analisis framing dan analisis wacana.
4. Manfaat metodologis
Riset diharapkan bermanfaat menghasilkan atau mengembangkan sebuah metode riset baru. Biasanya riset ini ditujukan untuk mahasiswa program S3






[1] Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 1
[2] Ibid.
[3] W. Gulo, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Grasindo, 2002), hal. 10
[4] Fred N. Kerlinger, Asas-Asas Penelitian Behavioral, (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 2000), hal. 7
[5] Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hal.
[6] Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial ……….., hal. 11

[7] Stewart L Tubbs & Sylvia Moss, Human Communication, editor Dedy Mulyana, (Bandung: Rremaja Rosdakarya, 2000)
[8] John Marston memperkenalkan formula RACE dalam kegiatan PR yaitu singkatan dari research, action, communication dan evaluation. Lihat Rahmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, cet I (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 7