Rabu, 04 November 2009

Pertemuan 6-7 MPS

ELEMEN DASAR RISET
A.
Konsep dan Konstruk
Konsep adalah abstraksi yang dibuat dengan mengeneralisasikan hal-hal yang khusus. Contoh konsep adalah prestasi. Prestasi adalah abstraksi yang terbentuk dari observasi tentang perilaku-perilaku tertentu pada seseorang. Perilaku itu terkait dengan penguasaan dan pengetahuan seseorang dalam mengerjakan soal hitung, mengeja kata-kata, membuat gambar, dan sebagainya. Berbagai perilaku yang teramati kemudian digolongkan menjadi satu dan diungkapkan dengan satu istilah atau nama “prestasi”. Kampus adalah konsep yang mewadahi atau menunjuk pada misalnya gedung, dosen, mahasiswa, ruang kuliah, matakuliah dan seterusnya.
Konsep dengan demikian merupakan symbol atau istilah yang menunjuk pada suatu pengertian tertentu. Konsep bersifat abstrak tetapi menunjuk pada sesuatu yang konkrit. Abstraksi suatu konsep itu bertingkat-tingkat, ada yang abstraksinya sangat tinggi, dan ada yang rendah. Misal, “minat” adalah suatu konsep yang sukar dicarikan hal-hal konkrit sebagai penunjuknya, tetapi “kursi” merupakan konsep yang sangat mudah dihubungkan dengan hal-hal yang konkrit, karena kita mudah mengamati ada kursi model sofa, kursi goyang, kursi putar, kursi malas, dan berbagai bentuk dan jenis kursi lainnya. Konsep yang tingkat abstraksinya tinggi inilah yang dinamakan konstruk atau konsep nominal.
[1]
Memperhatikan definisi tentang konsep seperti dikemukakan di atas, nampak bahwa konsep itu terbentuk melalui proses induktif, yaitu bertitik tolak pada gejala-gejala pengamatan. Proses memberikan konsep pada gejala-gejala yang diamati itulah yang disebut dengan “konseptualisasi”.

B. Variabel, Indikator Empiris dan Definisi Operasional
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa konseptualisasi adalah proses memberi konsep pada gejala-gejala yang diamati. Konsep bersifat abstrak tetapi menunjuk pada objek-objek tertentu yang konkrit. Obyek yang konkrit itu bersifat individual, yang berbeda satu dengan yang lain. Taruhlah misalnya kita mengamati orang-orang yang kita jumpai, maka tidak ada dua orang yang sama persis di antara mereka. Setiap orang berbeda dengan yang lain. Mereka dapat dibedakan dengan nama masing-masing. Ada yang bernama Ananta, Fikri, Yazdi, Mehdi, dan sebagainya. Tetapi baik Ananta, Fikri, Yazdi maupun Mehdi semuanya adalah manusia. Jadi, manusia adalah konsep, dan konsep itu tidak hanya menunjuk pada Ananta, Fikri, Yazdi dan Mehdi, tetapi juga pada orang lain yang mempunyai kemiripan dengan mereka.
Sifat dari obyek-obyek yang berbeda-beda itu adalah :
1. Mempunyai ciri umum yang sama yang membuat mereka mirip satu sama lain sehingga semuanya dapat ditampung dalam satu definisi
2. Setiap obyek berbeda masing-masing mempunyai ciri tersendiri yang membedakannya dengan obyek lain. Perbedaan itulah yang membuat obyek-obyek itu bervariasi, karena itu disebut variabel.
3. Perbedaan-perbedaan pada tiap obyek terletak pada ukuran masing-masing, baik ukuran yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Karena ukuran yang berbeda-beda itulah maka konsep itu disebut variabel
Secara singkat dapat didefinisikan bahwa variabel merupakan konsep yang mempunyai variasi nilai. Misal, kerajinan belajar mahasiswa dapat dilihat pada banyaknya waktu yang dipakai mahasiswa setiap minggunya untuk mempelajari matakuliahnya. Apabila tolok ukur ini diterapkan pada setiap mahasiswa akan tampak variasi dalam penggunaan waktu setiap mahasiswa. Anto mempergunakan 20 jam, Lulu mempergunakan 15 jam, Fira memanfaatkan 25 jam dan seterusnya. Oleh sebab itu, kerajinan belajar adalah variabel. Contoh lain dari variabel adalah pekerjaan penduduk di sebuah desa. Ada petani, peternak, buruh bangunan, pedagang, dan sebagainya. Karena ada berbagai macam pekerjaan, maka pekerjaan penduduk merupakan variabel.
Suatu konsep disebut variabel manakala menampakkan variasi pada obyek-obyek yang ditunjukkannya.

Di antara konsep yang abstrak dan obyek-obyek individual yang konkrit terdapat suatu penghubung yang menunjukkan obyek mana yang dapat dimasukkan ke dalam konsep yang bersangkutan. Konsep “mahasiswa”, misalnya. Siapa saja yang dapat digolongkan ke dalam konsep ini? Apakah A yang belajar di MAN termasuk dalam konsep ini, atau B yang bekerja di sebuah kantor atau C yang mengajar di sebuah SD? Kita membutuhkan suatu petunjuk untuk melakukan tugas tersebut. Misalkan, orang yang telah terdaftar untuk mengikuti perkuliahan di suatu Perguruan Tinggi dapat diketahui dari kartu mahasiswanya yang masih berlaku. Dengan kartu mahasiswa itu dapat diketahui siapa saja yang dimaksud dengan mahasiswa. Dalam konteks ini kartu mahasiswa itu disebut indicator empiris (variabel) terhadap konsep mahasiswa.
Indikator empiris atau variabel sifatnya harus dapat diamati. Suatu indicator empiris belum tentu dapat menunjukkan seluruh makna yang terkandung dalam konsep tertentu. Contoh, indicator sepeda adalah “kendaraan roda dua”. Bukankah ada juga sepeda roda tiga, dan ada juga kendaraan roda dua yang bukan sepeda? Jadi, indicator tersebut belum seluruhnya menangkap konsep “sepeda”. Oleh sebab itu, sebuah konsep dapat memiliki lebih dari satu indicator empiris. Dengan indicator empiris itu, kemudian dapat dibuat rumusan variabel secara operasional.
Definisi operasional adalah memberikan arti pada suatu konsep atau variabel dengan cara menetapkan kegiatan-kegiatan atau tindakan-tindakan yang perlu untuk mengukur konsep atau variabel itu.
[2] Definisi operasional dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat befungsi sebagai petunjuk untuk menemukan data yang tepat dalam dunia empiris. Misalkan kita melihat empat buah bilangan, yaitu 2, 4, 6, dan 8. Memang ke empat bilangan itu adalah bilangan genap tetapi tidak semua bilangan genap tersebut termasuk dalam pengamatan kita. Definisi yang tepat untuk pengamatan 2, 4, 6 dan 8 adalah “bilangan kelipatan dua di bawah 10”. Dengan definsi itu maka tidak ada yang lain kecuali 2, 4, 6 dan 8.
Definisi operasional suatu variabel tidak boleh dirumuskan dalam bentuk sinonim. Kalau definisi variabel kerajinan belajar dirumuskan sebagai “kerajinan belajar adalah ketekunan mahasiswa untuk mempelajari bahan kuliah”, maka di sini terdapat dua istilah sinonim yaitu kerajinan dan ketekunan. Seharusnya istilah ketekunan berfungsi sebagai penjelas bagi kerajinan, karena itu ia bukan konsep tetapi indicator. Istilah kerajinan harus diterangkan dengan indicator. Ciri dari indicator adalah teramati dan terukur. Dengan menggunakan indicator tersebut kita merumuskan variabel kerajinan belajar sebagai berikut: “kerajinan belajar mahasiswa adalah banyaknya waktu yang diukur dalam jam per mingggu yang dipergunakan oleh mahasiswa untuk membaca bahan-bahan yang relevan dengan program studinya”. Di sini kegiatan membaca adalah indicator, dan jumlah jam adalah pengukuran.
Tampak jelas bahwa definisi operasional variabel atau konsep berbeda dengan definisi yang ditemukan dalam buku teks atau dalam kamus. Definisi dalam textsbook atau kamus disebut dengan definisi nominal atau konstitutif.
C.
Jenis-jenis Variabel
Apabila dilihat dari fungsinya, maka variabel penelitian ada dua macam yaitu variabel independen (variabel bebas) dan variabel dependen (terikat). Suatu variabel disebut dependen atau variabel terikat jika nilai atau harganya ditentukan oleh satu atau beberapa variabel lain. Dalam hubungan ini variabel lain itu disebut variabel independen atau variabel bebas. Sebagai contoh, hubungan antara permintaan dan harga dalam hukum permintaan berbunyi: jika harga suatu barang naik (turun), maka permintaan terhadap barang itu akan turun (naik). Permintaan adalah variabel dependen, dan harga merupakan variabel independen. Kekerasan televisi menimbulkan perilaku agresif pada penontonnya, maka Kekerasan televisi merupakan variabel independen, sedangkan perilaku agresi adalah variabel dependen. Jika kita mengkaji relasi antara kecerdasan atau inteligensi dengan prestasi sekolah, maka kecerdasan merupakan variabel bebas dan prestasi variabel terikatnya. Umumnya relasi antar variabel bebas dan terikat menggunakan penjelasan sebab-akibat, atau korelasional.
Jika dilihat dari skala nilai, maka ada variabel kontinu dan variabel kategoris. Jika suatu variabel hanya bisa diukur dengan bilangan deskrit atau kategoris maka disebut dengan variabel kategoris.sedangkan jika dapat diukur dengan bilangan kontinu, namanya adalah variabel kontinu. Jumlah orang adalah variabel kategoris karena hanya dapat diukur dengan bilangan bulat seperti 1, 2, 3 dan sebagainya. Agama, pekerjaan, jenis kelamin, adalah contoh lain dari variabel kategoris. Variabel berat, panjang, umur termasuk variabel jenis kontinu karena dapat diukur dengan bilangan real seperti 1,12; 2,045 dan sebagainya
Sementara jika dilihat dari perlakuan terhadap variabel, maka dijumpai adanya variabel aktif dan variabel atribut. Variabel aktif adalah variabel yang dapat dimanipulasi, sedangkan variabel atribut merupakan variabel yang tidak dapat dimanipulasi. Pembagian variabel ke dalam dua jenis ini (aktif dan atribut) akan menjadi jelas jika dihubungkan dengan jenis penelitian eksperimen. Dalam penelitian eksperimen ada variabel yang dimanipulasikan, artinya peneliti dapat melakukan berbagai hal terhadap berbagai kelompok subyek (kelompok eksperimen).
Variabel atribut atau pasif adalah variabel yang sulit dilakukan manipulasi. Umumnya yang termasuk jenis variabel ini adalah intelegensi, bakat, jenis kelamin, status sosial-ekonomi, agama, keturunan. Jadi hal-hal yang umunya menjadi ciri manusia merupakan variabel atribut.
[1] Fred N. Kerlinger, Asas-Asas Penelitian Behavioral, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press: 2002), hlm. 48
[2] Fred N. Kerlinger, Asas-Asas Penelitian Behavioral, hlm. 51
[3] Stephen Yelon, dkk., A Teachers World Psychology in Classroom, (Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha, 1977), hlm. 294

Pertemuan 6-7 MPS

MASALAH PENELITIAN

Beberapa literatur dalam metodologi penelitian menyatakan bahwa penelitian dilaksanakan dalam rangka memperoleh pemecahan terhadap suatu masalah. Hillway[1], misalnya menyatakan bahwa penelitian adalah suatu metode studi yang dilakukan oleh individu, kelompok atau badan melalui penyelidikan yang cermat tentang suatu masalah sehingga diperoleh pemecahan yang tepat atas masalah tersebut. Ardhana[2] juga mengatakan bahwa penelitian itu merupakan proses untuk mencapai pemecahan masalah yang dapat diandalkan melalui pengumpulan, analisis dan intrepretasi data yang terencana dan sistematis. Emory dalam bukunya Business Research Methods (1997) sebagai dikutip oleh Sugiyono, berpendapat bahwa penelitian dilakukan berawal dan berakhir dengan masalah. Demikian urgen dan signifikannya “masalah” dalam penelitian, beberapa penulis buku penelitian meletakkan masalah sebagai pangkal tolak aktivitas penelitian.[3]
Secara ekstrim dapat dikatakan bahwa penelitian itu ada karena kita ingin memperoleh pemecahan suatu masalah. Isaac dan Michael[4] bahkan berani mengatakan “formulasi masalah penelitian dengan baik merupakan setengah dari tahap pemecahan masalah dan penelitian itu sendiri”. Pengakuan para ahli penelitian seperti di atas sangat mudah dipahami mengingat apapun pendekatan penelitian yang digunakan (kuantitatif atau kualitatif), masalah merupakan komponen utama yang harus dipahami bagi seorang peneliti.
Permasalahan yang sering kita dengar adalah adanya keluhan “kehabisan” masalah bagi peneliti pemula (baca: mahasiswa). Keluhan ini sebenarnya menyiratkan kontradiksi dengan hakikat dirinya sebagai manusia. Manusia adalah makhluk yang sanantiasa bermasalah. Jadi yang sulit adalah mengidentifikasi masalah dan mendudukkannya dalam proposal penelitian.

Pengertian Masalah Penelitian

Kapabilitas dan kredibilitas seorang peneliti bukan hanya ditentukan oleh frekuensi atau jam terbang melakukan penelitian, melainkan juga oleh kemampuan menemukan dan memilih masalah penelitian yang layak teliti. Masalah penelitian adalah suatu keadaan yang bersumber dari interaksi antara dua factor atau lebih yang menghasilkan situasi yang membingungkan. Karena membingungkan maka memerlukan solusi. Masalah pada dasarnya adalah merupakan suatu keadaan yang memerlukan solusi.
Keadaan tersebut muncul karena adanya kesenjangan (gap/kontradiktif) antara apa yang ada dan apa yang seharusnya, antara kenyataan yang ada dan apa yang diharapkan, antara tuntutan dengan apa yang tersedia, antara teori dan kenyataan. Masalah akan muncul apabila kita mampu menangkap kontradiktif pada interaksi antara satu atau dua komponen, yaitu konsep, pengalaman dan data empirik.


Kontradiktif yang terjadi pada konsep disebut dengan conceptual problems, sedangkan kontradiktif pada data empirik disebut dengan action problems, dan kontradiktif pada pengalaman dinamakan value problems.

Apabila dilihat dari apa yang diharapkan, maka masalah dapat dikelompokkan ke dalam 3 kategori, yaitu (1) masalah filosofis, (2) masalah kebijakan, dan (3) masalah ilmiah. Suatu masalah dikatakan masalah filosofis jika gejala-gejala empirisnya tidak sesuai dengan pandangan hidup yang ada dalam masyarakat. Gejala hubungan seks sebelum nikah di kalangan remaja termasuk dalam kategori ini, karena nilai-nilai yang berlaku di kalangan remaja itu tidak sesuai dengan norma-norma etis dan norma-norma keagamaan yang dianut oleh masyarakat.

Masalah yang tergolong dalam masalah kebijakan adalah perilaku-perilaku atau kenyataan yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pembuat kebijakan. Kualitas pendidikan yang tidak sesuai dengan tujuan pendidikan, bantuan untuk orang miskin yang tidak mencapai sasaran, merupakan dua contoh masalah dalam kategori ini.

Masalah yang tergolong dalam kategori masalah ilmiah adalah kenyataan-kenyataan yang tidak sesuai dengan teori ilmu pengetahuan. Dalam psikologi terdapat “teori hukuman” yang menjelaskan bahwa hukuman yang diberikan kepada anak akan mengubah perilakunya ke arah yang positif. Tetapi dalam kenyataannya, anak-anak yang diberi hukuman itu perilakunya justru semakin mengarah pada hal-hal yang negatif, bahkan hukuman itu menanamkan dendam kepada orangtuanya
Menemukan Masalah penelitian

Kesulitan menemukan masalah bukan disebabkan oleh ketiadaan masalah itu sendiri, sebab masalah dalam penelitian bersifat tak terbatas. Peneliti yang sedang mencari masalah dapat dianalogikan seorang yang berbelanja di supermarket besar, bukan barangnya yang tidak ada, sulit dicari atau tidak ada barang yang menarik, melainkan bagaimana memilih barang yang dpat menjawab persoalan kebutuhannya yang paling dasar (primer) berdasarkan kemampuan finansial, pengetahuan terhadap barang itu sendiri, keterbatasan waktu, dan sebagainya. Semua barang yang ada di supermarket merupakan barang yang menarik bagi subyek tertentu yang membutuhkannya berdasarkan konteks yang dihadapi. Ada orang cukup banyak uang tetapi tidak mampu memperoleh barang yang berkualitas karena keterbatasan pengetahuan terhadap barang itu sendiri. Sebaliknya ada yang memiliki pengetahuan cukup tentang barang yang berkualitas tetapi keuangan tidak memadai.

Kemampuan menemukan masalah ditentukan antara lain oleh kepekaan (sensitivitas) dan kesediaan mengambil jarak dengan realitas sehari-hari (seperti rutinitas, kebenaran, fenomena alam dan kejadian di sekitar kita). Penemuan gaya grafitasi bumi, adalah berkat kemampuan Newton mengambil jarak terhadap fenomena alam (yaitu buah apel yang jatuh dari pohonnya) yang mungkin menurut orang lain bahwa buah jatuh dari atas ke bawah merupakan hal biasa. Clifford Geertz mampu menemukan tipologi masyarakat Jawa dalam varian abangan, santri dan priyayi adalah berkat kejelian dan kepekaannya dalam melihat realitas masyarakat Jawa.

Masalah sosial sering menampakkan diri pada conflict issues yang dapat ditangkap dari peristiwa yang ada dalam masyarakat. Isu-isu seperti itu dapat ditangkap melalui pengamatan lansung, atau dari surat kabar, atau media massa lainnya, atau dari pokok-pokok pembicaraan yang berkembang dalam masyarakat. Pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan membantu kita mengetahui pokok permasalahan dari isu tersebut. Seperangkat gejala umum perlu dipelajari untuk bisa menemukan isu seperti “demokrasi”, kualitas sumber daya manusia”, “pengangguran”, “kualitas beragama masyarakat”, “kualitas pendidikan”, “relevansi dakwah”, dan sebagainya.

Bertitik tolak dari isu tersebut kita berusaha merumuskan masalah yang menjadi fokus penelitian kita. Dari isu yang pragmatis tersebut dapat pula ditarik sejumlah masalah, tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Di sinilah pentingnya teori sebagai acuan dalam melihat masalah.

Beberapa cara melatih kepekaan dalam melihat fenomena sosial di seputar kita sehingga akan memudahkan penemuan masalah penelitian adalah :
1. membaca sebanyak-banyak buku yang relevan dengan bidang yang kita tekuni dan bersikap kritis terhadap apa yang kita baca
2. menghadiri kuliah atau ceramah diskusi dan seminar atau forum ilmiah lainnya
3. mengadakan pengamatan dari dekat situasi atau peristiwa di sekitar kita
4. mengembangkan pemikiran kemungkinan penelitian dengan topik yang didapat waktu kuliah
5. menghadiri seminar hasil penelitian
6. berkunjung ke perpustakaan untuk memperoleh topik penelitian
7. berlangganan jurnal atau majalah yang sesuai dengan bidang atau disiplin keilmuan kita
8. mengumpulkan bahan-bahan yang berhubungan dengan bidang kita
9. dan sebagainya

Kriteria Masalah Penelitian

Penemuan masalah penelitian bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Ada sejumlah kriteria yang dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam penemuan masalah penelitian, antara lain (1) merupakan bidang masalah dan topik yang menarik, (2) mempunyai signifikansi secara teoritis atau praktis, (3) dapat diuji melalui pengumpulan dan analisis data, (4) sesuai dengan waktu dan biaya yang tersedia.[5]

Empat kriteria tersebut kemudian digunakan untuk menganalisis masalah yang telah kita pilih. Adapun langkah-langkah analisis terhadap masalah yang sudah kita pilih itu adalah sebagai berikut.

Pertama, analisis subtansi masalah itu sendiri. Masalah yang dipilih memiliki relevansi akademik dalam arti termasuk bidang kaji keilmuan apa, misalnya sosiologi, psikologi, komunikasi, manajemen, teologi dan lain sebagainya. Dengan mengetahui dan memahami kedudukan masalah dalam konteks keilmuan yang ada, peneliti dapat menelisik dan mendalami permasalahan itu dan mendudukkan dalam pokok bahasan bidang ilmu dimaksud. Dengan cara ini, seorang peneliti akan memiliki pangkal tolak dan perspektif keilmuan yang ada.

Kedua, analisis teori dan metode. Masalah yang dipilih sebainya dapat dicari rujukan kepustakaan, perspektif teoritis, dan metodenya. Dengan pertimbangan ini dapat ditelusuri kajian pustaka baik berupa buku, jurnal atau hasil riset terdahulu, dan peneliti akan semakin tajam dan terfokus dalam penelitiannya. Perspektif teoritis berguna bagi peneliti agar memiliki starting point dan point of view yang jelas sehingga ia akan semakin peka dan kritis dalam menvermati setiap fenomena.

Ketiga, analisis institusional. Jenis, bobot dan tujuan penelitian hendaknya disesuaikan dengan institusi di mana peneliti mempersembahkan penelitiannya. Penelitian untuk persyaratan memperoleh gelar akademik (skripsi, tesis, dan desertasi) tentu berbeda dengan penelitian pesanan (action research, evaluation research).

Keempat, analisis metodologis. Masalah yang diangkat hendaknya terjangkau baik dari segi metode pengumpulan data atau datanya itu sendiri. Penelitian yang melibatkan para elit (presiden, gubernur, ketua partai dan kalangan birokrat lainnya) umumnya lebih sulit dilakukan –secaraprosedural—daripada meneliti masyarakat awam. Juga harus dipertimbangkan factor ketersediaan data, apakah cukup datanya dan mudah didapat.

Kelima, masalah yang dipilih hendaklah actual, berarti dan bermakna. Peneliti mestinya menghindari masalah yang sudah banyak diteliti. Peneliti juga harus mempertimbangkan nilai manfaat praktis atau konkrit jika masalah tersebut diteliti. Nilai manfaat tersebut sedapat mungkin dirasakan oleh peneliti, institusi, masyarakat maupun pengembangan ilmu.

Secara sederhana (untuk mudah mengingat) bahwa dalam memilih masalah penelitian dapat menggunakan Empat Relevansi (4R), yaitu relevansi akademik, relevansi insitusional, relevansi sosial, dan relevansi personal.

[1] Hillway.T, Introduction to Research (Boston: Miffin Co., 1976)
[2]Ardhana. W., Bacaan Pilihan Metode Penelitian (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1987)
[3]Lihat misalnya M. Nasir, Metode Penelitian (Jakarta: Gramedia, 2000), Sutrisno Hadi, Metode Research (Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1980), Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta: 1996), W. Gulo, Metode Penelitian, (Jakarta: Grasindo, 2002) dan sebagainya
[4]Isaac, S. dan WB. Michael. Handbook in Research and Evaluation for Educational and the Behavioral Sciences, (California, USA: Edits Publisher, 1989), hlm. 32
[5] L.R Gay and PI Diehl, Research Methods for Business and Management, (New York: Macmillan Publishing Company, 1992) hlm. 54-55