Minggu, 06 September 2009

PEMBAGIAN TUGAS MP KUALITATIF 5A, 5B

Pembagian Tugas Kelompok Penyusunan Paper MP Kualitatif
Kelas : 5A

Kelompok I : Topik : Mengenal Penelitian Kualitatif
Lia Kholifah
Khoiril Anwar
Sholihul Abidin

Kelompok II : Topik : Langkah-langkah Penelitian Kualitatif
Lucky Mashita Imania
Muhammad Al-Haddad
Umar Muhtar Asadullah

Kelompok III: Topik : Masalah/Fokus Penelitian Kualitatif
Fikri Setiawan
Arifatul Khoiriyah
Kholid Noviyanto

Kelompok IV: Topik: Teori dan Design Penelitian Kualitatif ; Grounded Theory dan Fenomenology
Mahfut Hadi
Aan Sutanto
Diah Ambarwati

Kelompok V : Topik : Teori dan Design Penelitian Kualitatif : Etnometodology dan Interaksi Simbolik

Tri Wahyuningsih
Muhammad Anis
Rokhmatin NIsa

Kelompok VI : Topik : Teknik Pengumpulan Data Penelitian Kualitatif
Mansyuriah Novitasari
Uchti Utami
Siti Yuliana

Kelompok VII : Topik: Analisis Data Kualitatif
Devi Marcellina
Khoirul Huda
Mir’atul Hikmah

Kelompok VIII: Topik : Teknik Keabsahan Data
Lailatul Zuhriyah
Ana Mariana

Kelompok IX: Proposal dan Laporan Penelitian Kualitatif
Lisa Sri Rahmatullah
Ahmad Habib
Yudi Fauzi
Pembagian Tugas Kelompok Penyusunan Paper MP Kualitatif
Kelas : 5B


Kelompok I : Topik : Mengenal Penelitian Kualitatif
Nun Ahsan
Anisatul Islamiyah

Kelompok II : Topik : Langkah-langkah Penelitian Kualitatif
Agus Susanto
Muhammad Sholeh Anwar

Kelompok III: Topik : Masalah/Fokus Penelitian Kualitatif
Zaki Yamani
Ahmad Amrullah
Rizki Haqqul Yaqin

Kelompok IV: Topik: Teori dan Design Penelitian Kualitatif ; Grounded Theory dan Fenomenology
May Aini Lutfi Azizah
Miftahul Fikri
Shella Syahfiani

Kelompok V : Topik : Teori dan Design Penelitian Kualitatif : Etnometodology dan Interaksi Simbolik
Yahya
Ahmad Alimul Ghoffar
Kholifah Rusdiana

Kelompok VI : Topik : Teknik Pengumpulan Data Penelitian Kualitatif
Ahmad Hayyan Najikh
Asna Istya Marwantika
Mahfudz

Kelompok VII : Topik: Analisis Data Kualitatif
Ahmad Wajdi
Siti Ma’zumah
Badrul Munir

Kelompok VIII: Topik : Teknik Keabsahan Data
Mustainah
Hasbullah Iqbal

Kelompok IX: Proposal dan Laporan Penelitian Kualitatif
Lutfi Bari Hasani
Mahfudz
Supriyono

Catatan : tugas dikirim via email paling lambat tanggal 26 Oktober 2009

MATERI MP KUALITATIF 5A, 5B : PERTEMUAN 1


MENGENAL PENELITIAN KUALITATIF

A. Karakteristik Penelitian Kualitatif

1. Sejarah Pertumbuhan Pendekatan Kualitatif

Pada tataran metodologi, semenjak awal pertumbuhan ilmu-ilmu sosial sudah dikenal dua madzhab penelitian, yaitu pertama madzhab penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif. Kedua madzhab penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif.

Munculnya dua madzhab pendekatan penelitian tersebut merupakan konsekuensi metodologis dari perbedaan asumsi masing-masing mengenai hakikat realitas dan hakikat manusia itu sendiri. Artinya, hadirnya dua pendekatan penelitian tersebut tidak lepas dari perbedaan paradigma antara keduanya di dalam memandang hakikat realitas sosial dan hakikat manusia.

Pendekatan penelitian kuantitatif lahir dan berkembang dari tradisi (main streams) ilmu-ilmu sosial Perancis dan Inggris yang sangat dipengaruhi oleh tradisi ilmu-ilmu kealaman (natural sciences). Pendekatan ini kental diwarnai oleh aliran filsafat materialisme, realisme, naturalisme, empirisisme, dan positivisme. Dari sinilah lahir dan berkembang ilmu sosial berwajah positivisme yang mengedepankan pendekatan kuantitatif sebagi satu-satunya cara handal untuk menjelaskan fenomena sosial (perilaku manusia).

Jauh sejak abad ke-17 pendekatan kuantitatif berkembang pesat dan mendapatkan pengikut yang luas di kalangan komunitas keilmuan, yang pada akhir abad ke-19 ilmuan sosial ikut ke dalam main stream ini. Memasuki abad ke-20 tradisi kuantitatif semakin mendominasi metode penelitian, sedangkan pendekatan kualitatif baru diikuti oleh kalangan terbatas (disiplin antropologi dan bahasa). Penelitian dalam bidang psikologi, pendidikan, dan kedokteran adalah disiplin yang paling kuat dipengaruhi oleh pendekatan kuantitatif.

Sedangkan pendekatan kualitatif lahir dan berkembang dari tradisi ilmu-ilmu sosial Jerman yang sarat diwarnai pemikiran filsafat Platonik sebagaimana kental tercermin pada pemikiran Kant maupun Hegel. Penelitian kualitatif diwarnai banyak oleh aliran filsafat idealisme, rasionalisme, humanisme, fenomenologidsme dan interpretativisme. Dari sinilah lalu berkembang ilmu sosial interpretativisme yang mengagungkan dan mengunggulkan pendekatan kualitatif sebagai satu-satunya cara handal dan relevan untuk bisa memahami fenomena sosial.

Merujuk pada deskripsi di atas, untuk lebih memudahkan pemahaman, maka perkembangan pendekatan penelitian dapat dibagi menjadi tiga tahap. Pertama, tahap ketika metode kuantitatif sangat dominan, yaitu sebelum tahun 1940-an sampai akhir tahun 1970-an. Pada periode ini, penelitian ilmu sosial umumnya didominasi oleh metode kuantitatif. “Everything should and can be quantified”menjadi pegangan para peneliti. Mereka yakin bahwa apapun yang dapat didefinisikan akan dapat dihitung dan bahwa penelitian yang sahih secara ilmiah adalah yang memiliki tingkat generalitas yang tinggi. Muncul kecenderungan serba-kuantitatif.

Memasuki pertengahan tahun 1960-an metode kualitatif mulai mendapatkan banyak pengikut, tatkala dirasakan adanya kejenuhan pada metode kuantitatif untuk menjawab persoalan ilmu-ilmu sosial yang semakin kompleks. Metode ini secara meyakinkan tampil sebagai kekuatan baru yang mengimbangi bahkan menjadi pesaing metode kuantitatif. Inilah yang disebut dengan tahap kedua yang mencapai masa keemasannya pada pertengahan 1980-an hingga awal 1990-an. Pada periode ini, asumsi-asumsi lama tentang penelitian digugat kembali dan dibangun paradigma baru yang kemudian hari dikenal dengan paradigma naturalistic, konstruktivistik, pos-positivistik, dan pos-modernisme serta istilah-istilah lainnya.

Pendekatan kualitatif kemudian dianggap lebih mampu memahami realitas sosial yang lebih kompleks. Pendulum pun bergerak begitu keras dari ekstrim kuantitatif ke ekstrim kualitatif.

Penelitian kualitatif sesungguhnya merupakan suatu istilah umum yang memayungi berbagai metode yang sangat beragam dengan menggunakan label yang beragam pula, antara lain kualitatif (untuk menggambarkan sifat data), naturalistic (untuk setting penelitian), grounded research (sifat induktif penelitian), fenomenologis (pemaknaan realitas), etnografi (cara kerja di lapangan), hermeneutic (interpretasi), verstehen (cara menarik inferensi), iluminatif (cara menarik inferensi), participant observation (cara kerja peneliti). Peneliti tidak usah terjebak oleh labeling yang berbeda, karena banyak kesamaan di antara semuanya, meskipun ada juga perbedaan dalam penekanannya.

Pada dasawarsa 1990-an metode penelitian mulai memasuki apa yang disebut dengan periode ketiga, yaitu ketika mulai terjadi perimbangan antara kedua metode itu dengan perhatian lebih difokuskan pada apa masalahnya dan metode apa yang paling sesuai untuk digunakan. Perkembangan ini merupakan reaksi dari trend serba-kualitatif yang dinilai tidak sehat bagi perkembangan penelitian. Jadi ada kemiripan dalam perkembangan tahap pertama dan kedua tersebut. Pada saat metode kuantitatif sedang berjaya, peneliti belum apa-apa sudah memutuskan untuk mendekati masalahnya berdasarkan definisi operasional variabel yang ketat, kemudian dijabarkan ke dalam instrumen peneltian, dilakukan survai atau eksperimen dan ditarik generalisasi. Begitu juga pada saat metode kualitatif sedang mencapai puncak keemasan, ada trend peneliti untuk memilih pendektan kualitatif bahkan jauh sebelum masalah penelitiannya sendiri jelas benar. Akibatnya, terjadi trend serba kuantitatif (yang penting kuantitatif) di satu pihak, dan serba-kualitatif (atau yang penting kualitatuf) di pihak lain. Inilah yang dijembatani pada tahap ketigha ketika muncul pendakatan gabungan (mixed approach) antara kedua tradisi tersebut.

Satu hal yang perlu dicatat adalah pada tataran filosofis atau paradigmatic memang ada perbedaan kontras dalam asumsi-asumsi epistemologis, ontologis dan aksiologis antara pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Akan tetapi pada saat seorang peneliti sudah berhadapan dengan masalah penelitiannya, maka perbedaan yang kontras tersebut menjadi lebur, tidak lagi setajam dalam teori.
Realitas Sosial dan Hakikat Manusia

Dalam tradisi pemikiran positivisme (aliran yang dominan mendasari pendekatan kuantitatif), manusia dipandang sebagai makhluk jasmaniah biasa yang sehari-harinya berperilaku (melakukan respons) bergantung kepada stimulus yang menerpa pada dirinya dan atau bergantung pada tuntutan organismik yang secara alamiah (kodrati) tersimpan dalam diri manusia itu sendiri. Itu berarti, perilaku manusia tidak lebih dari suatu respon yang sifatnya otomatis dan mekanistik; penyebabnya bisa terletak pada kekuatan yang berasal dari dalam maupun dari luar diri manusia itu sendiri. Penyebabnya bisa bersifat internal dan juga eksternal. Oleh sebab itu, fenomena sosial dipandang sebagai sebagai akibat atau fungsi dari bekerjanya factor organismik dan atau struktur sosial tertentu. Penjelasannya mengapa demikian harus dicari pada factor atau variabel di tingkat organismik dan atau struktur sosial itu sendiri.

Dari sinilah lahir tradisi penelitian yang berupaya mengidentifikasi dan mengukur factor-faktor apa saja atau variabel apa saja yang mempengaruhi atau menyebabkan sesuatu fenomena. Hal inilah kemudian seperti dijumpai ada penelitian korelasional, komparasi yang selama ini dibantu analisis statistik.

Tradisi ilmu sosial interpretativisme, manusia dipandang sebagai makhluk ruhaniah. Dalam pandangan ini manusia selaku makhluk sosial, sehari-hari bukanlah “berperilaku” melainkan “bertindak”. Menurut aliran ini, istilah “perilaku” berkonotasi mekanistik dan bersifat otomatis. Pada hal tingkah laku sosial manusia selalu melibatkan niat, pertimbangan, dan alasan-alasan tertentu. Manusia itu bertindak bukan berperilaku. Term bertindak (action) mempunyai konotasi tidak mekanistik melainkan melibatkan niat, kesadaran dan alasan-alasan tertentu. Ia bersifat intensional, melibatkan makna dan interpretasi yang tersimpan di dalam diri sang manusia pelaku sesuatu tindakan.

Atas dasar itu, realitas sosial sesungguhnya bersifat maknawi. Artinya sangat bergantung pada makna dan interpretasi yang diberikan oleh manusia yang memandangnya. Suatu objek, keadaan, kondisi, situasi atau apa saja (dalam fenomena sosial) bisa memiliki ragam makna tergantung apa yang ada di benak manusia yang memaknainya. Pertandingan sepak bola di stadion Gelora 10 Nopember Surabaya oleh Bonekmania akan dimaknai sebagai kesempatan untuk menikmati pertandingan sepakbola. Sementara bagi pencopet, akan memaknainya sebagai peluang emas untuk merogok dompet penonton. Lain pula maknanya bagi tukang parkir kendaraan di sekitar stadion, atau bagi calo tiket yang gentayangan di luaran stadion yang nguber-uber calon penonton.
Sekali lagi, suatu fenomena sosial barulah bisa dipahami jika memahami dunia makna yang tersimpan dalam diri para pelakunya. Dunia makna itulah yang perlu dibuka, dilacak, dan dipahami untuk memahami fenomena sosial apapun, kapan pun, dan di mana pun. Termasuk bila ingin memahami karya manusia yang telah menyejarah, maka memahaminya bukan dengan jalan mencari penjelasan (explanation) ala positivisme yang biasanya kalang kabut mencari variabel penyebab, entah itu dari keranjang organismik ataukah dari keranjang struktur sosial.

Mengikuti alur berpikir seperti di atas, lalu lahir penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang sifatnya umum terhadap fenomena sosial dari perspektif partisipan. Pemahaman tersebut tidak ditentukan terlebih dahulu, tetapi didapat setelah melakukan analisis terhadap fenomena sosial yang menjadi fokus penelitian. Berdasarkan analisis tersebut kemudian ditarik kesimpulan berupa pemahaman umum yang sifatnya abstrak penomena.

Karakter khusus penelitian kualitatif adalah berupaya mengungkapkan keunikan individu, kelompok, masyarakat dan atau organisasi tertentu dalam kehidupannya sehari-hari. Untuk mengungkapkan keunikan subyek tersebut (individu, kelompok, masyarakat, organisasi) secara komprehensif dan serinci mungkin. Pendekatan kualitatif merupakan metode penelitian yang diharapkan dapat menghasilkan suatu deskripsi tentang ucapan, tulisan atau perilaku yang dapt diamati dari suatu individu, kelompok, masyarakat atau organisasi dalam suatu setting tertentu pula. Kesemuanya itu dikaji dari sudut pandang yang utuh, komprehensif dan holistic.

Karakter yang seperti inilah sehingga ada anggapan pendekatan kualitatif lahir sebagai reaksi pendekatan positivistaik (kuantitatif). Pendekatan kuantitatif selalu mengandalkan seperangkat fakta sosial yang bersifat objektif atas gejala yang nampak mengemuka, sehingga metodologinya cenderung melihat fenomena hanya dari kulitnya saja dan tidak mampu memahami makna di balik gejala yang tempak tersebut.

Ciri-ciri yang membedakan Kualitatif dan Kuantitatif

Ada tujuah buah cirri penelitian kualitatif yang membedakannya dengan penelitian kuantitatif. Pertama, dilihat dari kerangka teori. Penelitian kuantitatif menuntut penyusunan kerangka teori sedeangkan kualitatif menolak sepenuhnya penggunaan kerangka teoretik sebagai persiapan penelitian. Membuat persiapan teoretik seperti itu hanya akan menghasilkan penelitian yang artificial dan jauh dari sifat naturalnya.

Kedua, ada tidaknya hipotesis. Penelitian kualitatif tidak terikat oleh hipotesis, mengingat hipotesis muncul karena adanya kerangka teoretik yang mendahuluinya. Di samping itu, penelitian kualitatif tidak melihat kerangka teori yang mendahulinya. Penelitian kualitatif berangkat dari pikiran kosong dalam rangka membangun suatu konsep atau proposisi. Andai dalam suatu penelitian yang mnegklaim menggunaan pendekatan kualitatif tetapi di dalamnya masih terdapat kerangka teori, maka ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama bahwa teori yang ada dalam penelitian itu hanya sekadar untuk lampu senter atau tongkat pada saat kegelapan. Bisa jadi senter atau tongkat itu digunakan untuk meraba atau bahkan dibuang ketika mendapatkan hal yang baru dari lapangan. Kemungkinan kedua penelitian itu tidak sepenuhnya kualitatif mengingat penelitian jenis ini membutuhkan waktu cukup lama sementara keterbatasan waktu penelitian membuat peneliti tidak berani mengklaim pendekatan yang digunakan sepenuhnya kualitatif.

Ketiga, ada tidaknya variabel. Dalam melihat suatu fenomena, penelitian kualitatif berusaha melihat objek dalam konteksnya dan menggunakan tata piker logic lebih dari sekadar linear kausal. Penelitian kualitatif tidak menentukan variabel dan indicator variabel serta tidak berusaha mengukur variabel itu apalagi mengkuantifikasikan.

Keempat, hubungan peneliti dan responden. Peneliti dalam mengumpulkan data berfungsi sebagai instrumen utama yang berupaya mencapai wawasan imajinatif ke dalam dunia sosial responden, fleksibel, reflektif, dan tidak mengambil jarak dengan responden. Caranya peneliti melakukan observasi terlibat dan wawancara mendalam. Untuk melakukan kedua hal tersebut peneliti harus mampu membina rapport (bauran-hubungan antara peneliti dan subjek seolah-olah tidak ada lagi dinding pemisah antara keduanya).

Kelima, metode analisis data. Analisis penelitian kualitatif tidak bisa hanya dilakukan secara linier akan tetapi harus menggunakan analisis iterative. Analisis iterative ditujukan untuk kecermatan penelitian kualitatif dan menjaga kualitas hasil penelitian. Analisis iterative maknanya dalah semua komponen analisis, yaitu pengumpulan data, reduksi data, display data dan kesimpulan dilakukan secara simultan atau siklus.

Keenam, proses dan hasil. Penelitian kualitatif lebih mementingkan proses dibanding hasil. Hal ini karena hubungan bagian-bagian yang sedang diteliti akan jauh lebih jelas apabila diamati dalam proses. Juga penelitian kualitatif itu lebih mementingkan kedalaman materi yang diteliti dan bukan pada luasnya materi yang diteliti.

Ketujuh, responden dan sample. Penelitian kualitatif tidak mengenal istilah random sampling, ukuran sampel, luas sampel dan teknik sampling. Dalam penelitian kualitatif lebih dikenal istilah informan dan snowball-sampling. Untuk kuantitatif, semakin besar sampel akan semakin kecil kesalahan sampling. Tetapi dalam kualitatif banyak sedikitnya informan tidak menentukan akurat dan tidaknya penelitian. Bahkan dalam penelitian kualitatif bisa jadi informannya hanya satu orang.


B. Pertimbangan Melakukan Penelitian Kualitaif

1. karena sifat masalah itu sendiri yang mengharuskan menggunakan penelitian kualitatif. Misalnya, penelitian yang bertujuan menemukan sifat suatu pengalaman seseorang dengan fenomena, seperti gejala kesakitan, konversi agama, atau gejala ketagihan
2. karena penelitian yang dilakukan bertujuan untuk memahami apa yang tersembunyi di balik fenomena yang terkadang merupakan sesuatu yang sulit untuk diketahui atau dipahami.

C. Kritik Terhadap Penelitian Kuantitatif

Pendekatan kuantitatif pertama dikembangkan Descartes dengan metode “deduktif”nya. Lalu pendekatan ini dikembangkan Comte yang kemudian dikenal dengan sebutan pendekatan positivisme. Pendekatan kuantitatif bermula dari studi ilmu-ilmu alam (natural sciences) berupa pengkajian yang mengharuskan semua diukur dengan angka-angka kuantitatif secara ontologis dan harus diletakkan pada tatanan realisme.

Metode positivisme selalu mendapat kritik. Bacon memperkenalkan metode “induktif” do abad ke-17 sebagai reaksi dari deduktif untuk keluar dari jeratan pendekatan positivisme yang saat itu merambah ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Menurut Bacon pendekatan positivisme yang diterapkan untuk ilmu humaniora dan sosial banyak membelenggu empirisme dan rasionalisme subjek kajian. Pendekatan ini hanya mampu beroperasi mengupas “kulitnya” dan dianggap gagal mengungkap realitas sosial yang unik dan beragam.

Sekurang-kurangnya ada dua macam kritik yang ditujukan pada penelitian kuantitatif. Pertama, kritik bersifat intra-paradigmatik, dan kedua ekstra-paradigmatik.

Kritik intra-paradigmatik terkait dengan ha-hal (1) uraian kontekstual bahwa kajian kuantitatif terbatas pada desain eksklusifisme, terbtas pada kajian variabel tertentu dan menghilangkan makna generalisasi. Sedangkan kualitatif justru sebagai penyeimbang informasi kontekstual. (2) terkait dengan arti dan tujuan bahwa kajian terhadap manusia tidak seperti pada kajian kebendaan yang bersifat static dan linear (3) kuantitatif tidak dapat mempertemukan antara teori yang bersifat umum (grand theory dengan konteks local sehingga dijumpainya dilemma etik dan emik. Sedangkan kualitatif dapat mengungkapnya (4) pendekatan kuantitatif kabur dalam mengungkap kasus atau keunikan individu. (5) dalam kuantitatif yang disebut ilmiah adalah yang empirik sedang dalam kualitatif yang disebut ilmiah adalah yang alamiah.

Kritik ekstra-paradigmatik terkait dengan hal-hal (1) mulai ditolaknya pendapat bahwa data digunakan sekadar untuk menguji hipotesis dalam pola kajian konvensional. (2) suatu fakta tidak hanya dapat dilihat hanya pada satu jendela teori karena jendela teori yang berbeda memungkinak ditopang oleh perangkat fakta yang sama, sehingga kebenaran riil tak memungkinkan didapat atau diketahui, (3) bahwa fakta tidak hanya dapat dilihat dari satu jendela teori tetapi juga harus dilihat dari jendela nilai, (40 dalam paradigma konvensional peneliti seolah berdiri di belakang cermin sehingga diragukan objektivitas temuan pada fenomena yang dikaji jika dibandingkan pada studi kualitatif di mana peneliti langsung berada di tengah-tengah subyek yang dikaji.

Masih banyak lagi kritik terhadap penelitian kuantitatif. Charles Hampden-Turner, misalnya menegaskan bahwa apa yang muncul dari perspektif positivistic adalah gambaran manusia yang jauh dari objektif dan bebas nilai. Hampden-Turner melukiskan perspektif tersebut sebagai konsrvatif dan biased. Lebih jauh, Hampden-Turner mengemukakan bahwa penelitian kuantitatif itu:

Berkonsentrasi pada aspek-aspek perilaku manusia yang diulang-ulang, dapat diramalkan dan tidak berubah. Tampaknya, perpektif ini membernarkan subjek manusia yang kompulsif, obsesif dan ritualistic, sebaliknya tidak mengakui pentingnya kreativitas dan kebaruan dalam kehidupan manusia
Berkonsentrasi pada “eksternalitas yang dapat dilihat” yang “terbuka untuk dilihat oleh umum”, dan bukan pada dunia mimpi subjektif, filsafat dan seluruh kehidupan mental orang-orang yang gerakan fisiknya kita amati
Berkonsentrasi pada berbagai bagian orang, menganalisis bagian-bagian itu untuk memahami keseluruhannya. Betapa pun manusia itu tidak terbagi-bagi.

D. Kritik terhadap Penelitian Kualitatif

Sebagai dijelaskan di atas, penelitian kualitatif lahir sebagai reaksi metodologi positivistic. Penelitian kuantitatif selalu mengandalkan seperangkat fakta sosial yang bersifat objektif atas gejala yang tampak mengemuka, sehingga metodologi ini cenderung melihat fenomena hanya dari aspek eksternalitasnya saja dan tidak mampu memahami makna di balik gejala yang tampak tersebut.

Meski demikian, penelitian kualitatif juga masih mendapat kritik yang cukup keras dari para ahli kuantitatif. Pendekatan kualitatif oleh mereka dinilai banyak kekurangannya, seperti hasil penelitiannya tidak representatif, terlalu bersifat subjektif, tidak dapat digunakan untuk menggeneralisasikan suatu fakta sosial secara universal, dan hanya dapat digunakan pada wilayah kontekstual, serta cenderung melebih-lebihkan pada penghargaan terhadap subjektivitas individu, kelompok, masyarakat, dan suatu organisasi tertentu.

PEMBAGIAN TUGAS PAPER MPS: KELAS 3H2,3H1

PEMBAGIAN KELOMPOK TUGAS PENYUSUNAN PAPER MPS
KELAS : 3 H2


Kelompok I : Topik: Peranan Penelitian
Richa Sholihah
Erlina
Rustina
Lailatul Nur Faiza
Moh. Nurul Efendi

Kelompok II : Topik: Pengertian Penelitian
Khasif Maulida
Mohmammad Syahrul Kirom
Muniah
Imaroh An Nahdhiyah

Kelompok III : Topik : Kalsifikasi Penelitian
Kholdani Nur Ubaidillah
Mochamad Syaefuddin
Umi Nur Hayati
Ahmad Syaifuddin Zuhri

Kelompok IV : Topik: Masalah Penelitian
Martin Kusumadewi
Ajeng Maysaroh
Dany Indra Laksamana
Sri Widowati

Kelompok V Topik: Elemen Dasar Penelitian (Konsep, Variabel, Indikator Variabel, Definisi Operesional, hipotesis, teori)
1. Qudsiyah
2. Achmad Mahmudi
3. Hermanto
4. Mahyatin Hikmah
5. Eka uni

Kelompok VI Topik:: Populasi, Sample dan Teknik Sampling
1. Retno Wijianti
2. Etty Nur Jannah
3. Nurul Fatimah
4. Dyan Retno Wulan
5. Syamsul

Kelompok VII Topik: Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Data
Mutmainnah
Dewi Zubaidah
Irma Wahyu Riwayati
Muqoddimatus Shiyami

Kelompok VIII Topik : Instrumen Pengumpul Data
Alis Kandari
Syarif Saiful Hadi
Arviani Damayanti
Choiron Ichsan

Kelompok IX Topik: Analisis Data
M. Ari Nizarullah
Maya Galuh
Bagus Kunto Prasistya
Dini Fatmawati

Kelompok X Topik : Proposal Penelitian
Nur Hashomah
Rahmad Yunus Bachtiar
Nur Fitriyah
Audinda Oktavirani Putri

Kelompok XI Topik : Laporan Penelitian
Farhan Lidinillah
M. Imam Efendi
Andriyani
Muh. Arif Budiman




PEMBAGIAN KELOMPOK TUGAS PENYUSUNAN PAPER MPS
KELAS : 3 H1

Kelompok I: Topik: Peranan Penelitian
Achmad Safi’i
Lani Purnamasari
Ibrahim Ahmad Amar
Nurul Aini Maftuhah

Kelompok II: Topik: Pengertian Penelitian
Noor Kumala
Anis Mas’ulah
Mochammad Romadhoni
M. Faizal Ferbianto

Kelompok III: Topik : Kalsifikasi Penelitian
M. Daniel Falakhi
Arizal Dwi Irmawan
Saiful Bakri
Jovi Akita Pradana

Kelompok IV: Topik: Masalah Penelitian
Additya Artas
Ratih Ayu Puspita
Moch Dwi Ridwan
Wahyu Zam Pratama

Kelompok V Topik: Elemen Dasar Penelitian (Konsep, Variabel, Indikator Variabel, Definisi Operesional, hipotesis, teori)
Fany Ariyanti
Adi Sulthon
Bagus Dwiyanto
Andi Haryawan

Kelompok VI Topik:: Populasi, Sample dan Teknik Sampling
Reksa Buana Alim D
Dwi Lestari
Rizky Nuraini
Achmad Syaifullah

Kelompok VII Topik: Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Data
Syamsur Rizal
Desi wulan Sari
Amirullah Zuhri

Kelompok VIII Topik : Instrumen Pengumpul Data
Nasukhah
Diana Hermawati
Muhammad Ilham
Nur Fitriyah

Kelompok IX Topik: Analisis Data
Aqidah Hasri Utami
Masbuchin
Feni Hardiyanti

Kelompok X Topik : Proposal Penelitian dan Laporan Penelitian
Hendriyanto
Mohammad Syihabuddin

Catatan : Tugas dikirim via email paling lambat tanggal 22 Oktober 2009

Rabu, 02 September 2009

Materi MPS

Materi MPS : Pertemuan 2

Peranan Penelitian dalam Pengembangan Ilmu Komunikasi

A. Pemahaman Ke-arah Pengertian Penelitian

1. Motivasi Melakukan Penelitian
Hakikat penelitian dapat dipahami dengan mempelajari aspek motivasi yang mendorong manusia untuk melakukan penelitian. Setiap orang mempunyai motivasi yang berbeda, diantaranya dipengaruhi oleh tujuan dan profesi masing-masing. Dosen, mahasiswa, manajer, konsultan bisnis, masing-masing mempunyai motivasi dan tujuan tertentu dalam melakukan penelitian. Motivasi penelitian secara umum pada dasarnya sama yaitu bahwa penelitian merupakan refleksi dari rasa keingintahuan manusia untuk mengetahui sesuatu (human curiosity). Karena dorongan ingin tahu tersebut, semenjak masa kanak-kanak manusia cenderung mempertanyakan berbagai hal yang belum diketahui dan belum dipahaminya. Dorongan dan kecenderungan tersebut, mengisyaratkan adanya keinginan manusia untuk lebih memahami dunia dimana ia hidup, baik “dunia alam maupun dunia sosial”.[1]
Dorongan dan kecenderungan tadi dipermudah oleh kemampuan mengabstraksi dan berbahasa yang dipunyai oleh manusia, memungkinkan manusia untuk berkomunikasi, belajar dan menyimpan perbendaharaan pengetahuannya dalam sejumlah lambang, symbol atau konsep; semuanya itu ikut mempermudah tersalurnya dorongan ingin tahu manusia sehingga memungkinkan berkembangnya perbendaharaan pengetahuan manusia dari waktu ke waktu, baik mengenai dunia alam maupun dunia sosial.[2] Hal tersebut ditandai dengan semakin banyaknya konsep atau pengertian yang diketahui dan dipahami seseorang.
Rasa keingintahuan manusia itu diperoleh dengan proses bertanya dan menjawab. Dalam proses bertanya dan menjawab itu ada aktivitas berfikir. Berpikir adalah bertanya, bertanya adalah mencari jawaban. Mencari jawaban adalah sama dengan mencari kebenaran. Proses bertanya dan menjawab inilah sebenarnya inti penelitian itu.[3] Dari proses bertanya dan menjawab kemudian diperoleh pengetahuan yang benar oleh manusia. Dengan demikian, penelitian pada hakikatnya bertujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang sesuatu yang dianggap benar.
2. Cara Manusia Memperoleh Pengetahuan
Sebagaimana terlihat dari pembahasan di atas, kegiatan penelitian ditujukan untuk memperoleh pengetahuan. Namun demikian, dalam sejarah panjang pencarian dan penemuan kebenaran dan pengetahuan, manusia telah menempuh berbagai jalan dan cara. Cara yang pernah ditempuh manusia untuk mengetahui dan menjelaskan tentang sesuatu adalah:
a. Pertama dengan metode keteguhan (method of tenacity). Dengan cara ini orang menerima suatu kebenaran karena merasa yakin akan kebenarannya. Unsur keyakinan berperan dalam metode ini. Bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Allah, dan bukan berasal dari monyet, diterima sebagai kebenaran karena keyakinan agama. Metode ini berpegang teguh pada suatu pendapat yang sudah diyakini sejak lama, bahwa sesuatu itu benar.
b. Kedua, dengan metode otoritas (method of authority). Sesuatu diterima sebagai kebenaran karena sumbernya mempunyai otoritas untuk itu. Bahwa alam semesta adalah ciptaan Allah diterima sebagai kebenaran karena sumbernya adalah al-Quran. Pernyataan dari seorang tokoh tertentu juga diterima sebagai kebenaran karena ia mempunyai keahlian di bidang itu. Jadi kebenaran dikembalikan kepada pernyataan orang lain yang dianggap ahli dan menguasai permasalahan tersebut.
c. Ketiga, dengan intuisi atau a priori (method of intuition). Proses penemuan kebenaran melalui intuisi atau ilham sangat mungkin apabila hati manusia bersih dan pikiran jernih seperti waktu melaksanakan ritus keagamaan dan semedi. Intuisi dapat berupa sebuah keyakinan terhadap suatu pilihan yang secara akal sehat dapat dipercaya atau tidak dapat dipercaya. Intuisi dalam pandangan para filosof merupakan “suara Tuhan” yang masuk melalui ruh dan menghunjam ke dalam kalbu.
d. Keempat secara kebetulan. Kebenaran juga dapat diperoleh secara kebetulan. Walaupun demikian, kebenaran yang ditemukan sering sangat bermanfaat. Konon, penemuan pil kina (penyembuh penyakit malaria) ditemukan ketika secara tidak sengaja seseorang yang sedang mengalami panas suhu badannya terjatuh di sebuah sungai dan secara tidak sengaja pula ia meminum air sungai itu. Oleh karena di muara sungai itu tumbang sebatang pohon yang getahnya ikut larut ke air sungai tersebut dan diketahui pohon tersebut adalah pohon kina yang memiliki toksin untuk penyakit malaria. Cerita lain mengisahkan ada seorang santri menghanyutkan usus ayam milik kiainya ketika ia diperintahkan untuk mencucinya di sungai. Karena ketakutan, ia mengganti usus tersebut dengan cacing. Santri lain yang kebetulan memakan usus cacing tersebut justru dapat sembuh dari penyakit tifus yang selama ini dideritanya. Selain itu, suaranya pun semakin nyaring. Ilmu pengetahuan mutakhir membuktikan bahwa cacing mengandung unsur-unsur yang dapat membunuh virus penyebab tifus dan juga dapat dijadikan bahan untuk kosmetika.
e. Kelima dengan usaha coba-coba (trial and error). Pengethauan dengan cara ini diperoleh melalui pengalaman langsung. Sesuatu yang dianggap benar diperoleh sebagai hasil dari serangkaian percobaan yang tidak sistematis. Mula-mula dicoba, hasilnya salah, dicoba lagi, salah lagi, dicoba lagi sampai akhirnya ditemukan yang benar. Ibu-ibu dalam memasak sering melakukan usaha coba-coba untuk mendapatkan masakan sebagaimana diinginkan.
f. Keenam melalui akal sehat (common sense). Akal sehat merupakan serangkaian konsep yang digunakan untuk menyimpulkan hal-hal yang benar. Cara common sense ini sering sangat berguna namun terkadang menyesatkan. Contoh yang menguntungkan misalnya metode analogi dalam proses penetapan hukum sering hanya menggunakan akal sehat. Sapi dan kerbau diqiyaskan dengan unta. Contoh menyesatkan sekitar abad ke-19 para pendidik umumnya berkeyakinan bahwa hukuman merupakan alat utama dalam pendidikan. Kebenaran yang telah diyakini itu terbukti menyesatkan setelah diadakan penelitian. Penelitian Hurlock menunjukkan bahwa reward atau hadiah menghasilkan peningkatan yang lebih besar dalam proses belajar dibanding hukuman atau sanksi.[4]
g. Ketujuh melalui metode ilmiah (scientific method). Metode ini dilakukan melalui proses deduksi dan induksi. Permasalahan ditemukan di dalam dunia empiris dan jawabannya juga dicari di dalam dunia empiris melalui proses deduksi dan induksi yang dilakukan secara sistematis. Moh. Nazir menyebutkan enam kriteria pada metode ini, yaitu (1) berdasarkan fakta, (2) bebas dari prasangka, (3) menggunakan prinsip-prinsip analisis, (4) menggunakan hipotesis, (5) menggunakan ukuran obyektif, dan (6) menggunakan teknik kuantitatif.[5] Dengan karakteristik seperti ini ada yang menyebut metode ilmiah dengan metode positivistic. Namun mengamati perkembangan decade terakhir, di samping bersifat positivistic juga semakin popular metode naturalistic, dan rasionalistik.
Terhadap ke-tujuh metode mencari dan menemukan kebenaran di atas dapat dikategorikan bahwa cara pertama sampai dengan nomor keenam merupakan cara atau metode non-ilmiah. Sedangkan cara terakhir memenuhi kriteria pendekatan ilmiah.
B. Peranan Penelitian
Penelitian atau penggunaan metode ilmiah secara terancang dan sistematis, atau kegiatan penelaahan secara ilmiah, tidak dapat dipisahkan dengan pertumbuhan ilmu pengetahuan, baik bagi ilmu-ilmu kealaman (natural sciences) maupun bagi ilmu-ilmu sosial (social siences). Dikatakan demikian karena ilmu pengetahuan sebagai produk (a body of organized and verified knowledge), sebagaimana dikatakan Harton and Hunt, jelas merupakanhasil penelahaan dan investigasi ilmiah. Artinya pertumbuhan ilmu pengetahuan dari awal mulanya hingga sekarang ini, adalah berkat andil kegiatan penelitian yang selama ini dilakukan oleh para ilmuwan ; penelitian merupakan metode andalan para ilmuwan yang selama ini digunakan untuk menyingkap “rahasia dunia alam dan rahasia dunia sosial”.
Hal tersebut menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan, baik mengenai alam maupun sosial berkepentingan dengan penemuan pengetahuan-pengetahuan baru yang kebenarannya teruji secara ilmiah, wujudnya berupa teori atau generalisasi yang ditemukan melalui hasil penelitian. oleh karena itu penelitian merupakan pisau bedah untuk menyingkap kenyataan alam dan kenyataan sosial yang belum tersingkap.[6]
Dalam dunia sosial penggunaan metode ilmiah secara luas dalam menelaah gejala sosial baru berkembang dalam abad ke-20 ini. Mengingat masih mudanya usia penelahaan ilmiah terhadap dunia sosial dan gejala sosial itu sendiri jauh lebih kompleks dibandingkan dengangejala alam, prestasi penemuannya masih belum disebandingkan dengan apa yang dicapai oleh ilmu-ilmu kealaman.
Apapun yang telah dicapai dan ditemukan hingga sekarang baik dalam dunia alam maupun sosial, yang jelas masih tersisa demikian banyak masalah dan gejala yang belum tersingkap. Obyek penelitian masih terbentang luas, bahkan dari setiap penelitian , akan memunculkan satu atau beberapa masalah baru yang memerlukan penelitian. Dengan begitu, bangunan pengetahuan dan akumulasi pengetahuan ilmiah akan tetap menjadi tantangan dan kebutuhan untuk ditumbuhkan dan dikembangkan, jalannya adalah melalui penelitian.
Teori serta hasil-hasil penelitian mengenai sesuatu masalah dapat menjadi landasan untuk memasalahkan atau mempertanyakan sustu masalah baru, dan begitu seterusnya. Bila demikian halnya maka pertumbuhan ilmu pengetahuan akan berkembang laksana spiral, dimana penemuan-penemuan baru bertolak dari dan utnuk memekarkan atau memperkaya penemuan sebelumnya.
Peranan Penelitian dalam Praktik Komunikasi
Sebagai bagian dari ilmu-ilmu sosial, ilmu komunikasi juga akan berkembang melalui penelitian. Penelitian memegang peranan penting dalam praktik komunikasi. Proses komunikasi ditujukan untuk menciptakan komunikasi yang efektif. Dengan demikian segala bidang komunikasi , baik itu hubungan masyarakat (public relations), periklanan (advertising) , penyiaran (broadcasting), jurnalistik dan lainnya dituntut untuk menciptakan komunikasi yang efektif agar tercapai tujuan yang diharapkan. Komunikasi yang efektif mensyaratkan adanya pertukaran informasi (sharing of information) dan kesamaan makna (in tune) antara komunikator dan komunikan.
Banyak pakar memberikan batasan komunikasi efektif. Tubbs and Moss (2000:9-13) dalam bukunya Human Communication memberikan kriteria komunikasi efektif, yaitu bila terjadi pengertian, menimbulkan kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang semakin baik, dan perubahan perilaku. Bila dalam proses komunikasi khalayak tidak mengerti apa yang disampaikan komunikator, atau terjadi kerenggangan hubungan antara komunikator dengan khalayak maka terjadi kegagalan komunikasi atau komunikasinya bukan komunikasi efektif. Jadi komunikasi efektif dapat terjadi manakala ada kesamaan kerangka berfikir (frame of reference) dan bidang pengalaman atau (field of experience) antara komunikator dengan komunikan.[7]
Maka dari itu, untuk menciptakan komunikasi yang efektif maka harus dilakukan persiapan-persiapan secara matang terhadap seluruh komponen proses komunikasi: siapa komunikatornya, pesan apa yang akan disampaikan, apa medianya, sasarannya siapa, bagaimana efeknya, umpan balik, bahkan kemungkinan noise yang terjadi.
Disinilah posisi riset. Upaya-upaya menyiapkan komponen komunikasi diatas harus didasari atas data empiric yang berisi deskripsi detail tentang karakteristik masing-masing komponen. Data empiris ini tentunya hanya didapat melalui kegiatan riset, sehingga keputusan yang diambil akan mencerminkan realitas yang akan dihadapi. Misalnya : komunikator yang kredible dimata pendengar itu yang bagaimana, informasi apa yang dibutuhkan khalayak, bagaimana umpan balik khalayak terhadap pesan yang disampaikan oleh PR[8], apakah strategi kreatif sebuah iklan sesuai dengan target sasaran, bagaimana profil pembaca suatu suratkabar yang akan mempengaruhi jenis informasi yang sesuai dengan pembaca. Dan lain-lain.
Selain itu, sebagai ilmuwan ataupun praktisi komunikasi dituntut selalu mengembangkan khazanah ilmu kita melalui riset. Karena sebenarnya ilmu itu bersifat tentative (dapat didebat), perlu pemikiran baru demi pengembangan dan untuk kemaslahatan ummat. Pada dasarnya riset itu dilakukan untuk menemukan, membuktikan dan mengembangkan. Menemukan hal atau teori baru yang sebelumnya tidak ada, membuktikan sesutau dan mengembangkan teori atau hal baru yang sudah ada.
Secara garis besar manfaat riset dikelompokkan kedalam empat kelompok besar :
1. Manfaat teoritis atau akademik
Sebuah riset komunikasi diharapkan bermanfaat bagi pengembangan keilmuan melalui upaya mengkaji, menerapkan, menguji, menjelaskan atau membentuk teori, konsep maupun hipotesis tertentu. Disinilah peneliti bisa memulai risetnya dengan menanyakan apakah sebuah teori masih layak digunakan untuk menjawab fenomena atau periset mangamati fenomena yang akhirnya membentuk teori baru. Mislanya teori peluru yang disampaikan oleh Wilbur Schramm yang menganggap pengaruh media terhadap khalayak sangat kuat ( khalayak dianggap pasif). Dikritik oleh Elihu Katz dan Paul Lazarsfeld (1950) yang mengemukakan teori baru tentang aliran komunikasi dua tahap (two step flow communication) atau personal influences (pengaruh pengaruh personal yang menganggap bahwa pengaruh media itu terbatas, dan sebaliknya khalayak aktif mencari informasi.
2. Manfaat praktis
Riset yang dilakukan bermanfaat untuk konsumsi praktisi komunikasi. Biasanya riset ini sejak awal bermaksud memberikan rekomendasi bagi praktisi komunikasi, baik dibidang jurnalistik, public relations, advertising, dan sebagainya. Misal riset “tracking media” menghasilkan manfaat berupa rekomendasi kepada pengelola media tentang rubrik apa yang harus dipertahankan dan dihapuskan. Riset perilaku konsumen dapat memberikan rekomendasi kepada praktisi komunikasi pemasaran dalam menyiapkan strategi kumunikasi pemasaran yang jitu, sehingga sesuai dengan karakteristik sasaran (konsumen)
3. Manfaat sosial
Riset mempunyai manfaat bagi upaya-upaya mengubah struktur sosial. Riset ini mencoba mengkritisi struktur sosial yang menurutnya kurang ideal karena cenderung tidak adil, didominasi oleh kelonpok tertentu dan mengasingkan kelompok marginal. Isi komunikasi dianggap cenderung memihak kepada kelompok tertentu yang berkuasa. Karena itu riset ini masuk dalam kategori aliran kritis. Karena itu riset yang masuk dalam kategori ini dikenal dengan aliran kritis. Contoh ditemukan pada riset media studies atau critical studies, seperti analisis framing dan analisis wacana.
4. Manfaat metodologis
Riset diharapkan bermanfaat menghasilkan atau mengembangkan sebuah metode riset baru. Biasanya riset ini ditujukan untuk mahasiswa program S3






[1] Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 1
[2] Ibid.
[3] W. Gulo, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Grasindo, 2002), hal. 10
[4] Fred N. Kerlinger, Asas-Asas Penelitian Behavioral, (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 2000), hal. 7
[5] Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hal.
[6] Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial ……….., hal. 11

[7] Stewart L Tubbs & Sylvia Moss, Human Communication, editor Dedy Mulyana, (Bandung: Rremaja Rosdakarya, 2000)
[8] John Marston memperkenalkan formula RACE dalam kegiatan PR yaitu singkatan dari research, action, communication dan evaluation. Lihat Rahmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, cet I (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 7