Minggu, 11 Oktober 2009

MP KUALITATIF Pertemuan ke 5. kelas 5A 5B

PARADIGMA, TEORI DAN METODE
DALAM PENELITIAN KUALITATIF

A. Arti Paradigma, Teori dan Metode serta hubungannya dalam penelitian

Istilah paradigma kali pertama dikenalkan Thomas S. Kuhn dalam bukunya berjudul the Structure of Scientific Revolutions. Secara etimologi, banyak kata atau istilah yang dipadankan dengan paradigma antara lain perspektif, school of thought (mazhab pemikiran), model, pendekatan, strategi intelektual, kerangka konseptual, kerangka pemikiran, atau world view (pandangan dunia).

Paradigma didefinisikan oleh ahli dengan banyak redaksi. Kuhn sendiri mengartikannya sebagai pandangan hidup (world view) yang dimiliki oleh para ilmuan dalam suatu disiplin tertentu. Robert A. Friedrichs menyatakan bahwa paradigma adalah suatu gambaran yang mendasar mengenai pokok permasalahan yang dipelajari dalam suatu disiplin. Sementara Bogdan dan Biklen memahami paradgma dengan kumpulan lepas dari asumsi, konsep, atau proposisi yang disatukan secara logis yang mengarahkan pikiran dan jalannya penelitian.

Secara singkat Dedy Mulyana mengatakan paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Sedemikian juga Imam Suprayogo meringkaskan bahwa paradigma merupakan pandangan dunia yang dimiliki seorang peneliti yang dengan itu ia memiliki kerangka berpikir (frame), asumsi, teori, atau proposisi dan konsep terhadap suatu permaslahan penelitian yang dikaji.

Dengan merujuk pendapat Anderson agaknya dapat digunakan untuk mengakhiri dan memahami apa sebenarnya paradigma itu dalam konteks penelitian. Anderson mengatakan bahwa paradigma adalah ideology dan praktek suatu komunitas ilmuwan yang menganut suatu pandangan yang sama atas realitas, memiliki seperangkat kriteria yang sama untuk menilai aktivitas penelitian, dan menggunakan metode serupa.

Sementara teori—berdasarkan etimologinya—mempunyai makna berkisar dari yang sangat awam, yakni sekadar spekulasi (misal teori tentang jam berapa kawan kita akan tiba di bandara Juanda dari Jakarta), hingga yang canggih seperti tersirat dalam teori relativitas Einstein. Untuk yang terkahir ini, maka teori diartikan sebagai penggambaran terbaik atas suatu keadaan berdasarkan pengamatan yang sistematik.

Definisi teori yang lazim dikutip adalah formulasi dari Kerlinger yaitu seperangkat konsep, definisi dan proposisi yang saling berhubungan yang menyajikan suatu pandangan yang sistematik atas fenomena dengan menjabarkan hubungan-hubungan dengan tujuan menjelaskan dan meramalkan fenomena tersebut. Definisi ini sebenarnya cocok untuk ilmu alam. Teori secara minimal terdiri dari suatu konsep yang dianggap sebab, suatu konsep yang dianggap akibat, dan suatu pernyataan tentang bagaimana dan mengapa kedua konsep tersebut berhubungan. Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat dipahami bahwa teori mempunyai tingkatan yang berlapis-lapis, mulai dari yang tertinggi (paling abstrak) hingga yang paling operasional. Kalangan akademisi membagi tiga kategori teori: grand theory (teori agung), middle-range theory (teori menengah), dan operational atau particularistic theory (teori partikularistk/operasional).

Dalam kaitannya dengan penelitian, maka teori menurut Littlejohn merupakan tahap ketiga (mencari jawaban), setelah tahap bertanya (merumuskan pertanyaan) dan tahap kedua (pengamatan). Metode pengamatan berbeda antara paradigma yang satu dengan paradigma lainnya. Sebagian ilmuan sosial meneliti artefak dan dokumen-dokumen lama, sebagian lainnya terlibat secara pribadi, lainnya lagi menggunakan instrumen dan eksperimen. Pengamatan sering merangsang pertanyaan baru dan pengamatan antara lain ditentukan oleh teori dan pada gilirannya teori juga ditentukan oleh paradigma. Dengan demikian, suatu teori harus konsisten dengan paradigmanya, dan metode penelitian harus konsisten dengan teorinya dan sekaligus juga dengan paradigma yang digunakan.

Pemahaman tentang hubungan antara paradigma, teori dan metode penelitian itu penting. Masih ada mahasiswa yang menggunakan teori tertentu dalam menulis (meneliti untuk) skripsi, namun metode penelitiannya berbeda atau bahkan bertolak belakang dengan teori yang digunakan. Misal, seorang mahasiswa menggunakan teori Stimulus-Respon, namun metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif yang dalam laporan penelitiannya hanya dilengkapi dengan tabel-tabel frekuensi tunggal.

Sekali lagi, dalam bidang keilmuan, paradigma akan mempengaruhi teori kita yang pada gilirannya mempengaruhi cara kita melakukan (metode) penelitian. Paradigma menjelaskan asumsi-asumsinya yang spesifik mengenai bagaimana penelitian harus dilakukan dalam bidang yang bersangkutan. Paradigma menentukan apa yang dianggap fenomena yang relevan bagi penelitian dan metode yang sesuai untuk menemukan hubungan di antara fenomena yang kelak disebut teori.

Oleh karena setiap peneliti memandang disiplin ilmunya secara berbeda, ia cenderung menafsirkan fenomena yang sama dengan cara yang berbeda pula. Oleh karena tidak adanya paradigma yang dapat diterima secara universal semua interpretasi yang bervariasi menjadi sama-sama sah.

Beraneka ragam paradigma ternyata erat kaitannya dengan “persoalan apakah sebenarnya realitas sosial itu”. Uraian berikut lebih mengekplorasi mengenai realitas sosial, sebagai pengantar sub bab berikutnya mengenai paradigma penelitian kualitatif.

B. Paradigma dan Realitas Sosial

Macam paradigma yang dikemukakan oleh teoritisi bergantung pada bagaimana ia memandang manusia yang menjadi objek kajian mereka. Perbedaan paradigma ini pada dasarnya merupakan perbedaan penafsiran tentang apa itu realitas, dan bagaimana kedudukan manusia dalam realitas itu.

Realitas adalah semua yang telah dikonsepsikan sebagai sesuatu yang mempunyai wujud, sesuatu yang membenda atau actual. Realitas harus dibedakan dengan fakta dan fenomena. Fakta adalah semua hasil perbuatan atau buatan manusia. Sementara fenomena merupakan sesuatu yang menampak dan muncul dalam alam kesadaran manusia.

Realitas sosial menurut Berger dan Luckman terdiri dari tiga macam, yaitu
1. Realitas objektif yaitu realitas yang terbentuk dari pengalaman di dunia objektif yang berada di luar diri individu. Inilah yang disebut kenyataan empirik
2. Realitas simbolik yaitu ekspresi simbolik dari realitas objektif dalam berbagai bentuknya
3. Realitas subjektif yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolik ke dalam individu melalui proses internalisasi.

Pemahaman seperti inilah yang kemudian membawa pada dikotomi bahwa realitas sosial itu empirik, dan simbolik yang sebenarnya bermuara pada dua aliran yaitu empirisisme dan aliran simbolisme. Aliran empirisisme (positivisme) merupakan induk penelitian kuantitatif, sementara aliran simbolisme (naturalisme) adalah induk penelitian kualitatif.

Aliran Empirisisme
1. objek kajian sosial yaitu realitas sosial itu sebagai realitas objektif yang teramati dan terukur
2. realitas sosial bukan kesadaran/pengetahuan warga masyarakat tetapi manifestasinya yang kasat mata dan teramati di alam inderawi yang objektif
3. manifestasinya mewujud dalam perilaku sosial warga masyarakat berikut pola-polanya, struktur dan jika sudah demikian menjadi institusi sosial
4. yang dikaji adalah struktur dan fungsi
5. perilaku manusia bergantung pada stimulus yang menerpa dirinya. Sehingga perilaku manusia itu sifatnya otomatis dan mekanistik

Aliran Simbolisme
1. realitas sosial sebagai makna-makna yang terinterpretasi dari berbagai symbol cultural
2. objek kajian sosial sebenarnya bukanlah apa yang sebatas penampakannya di alam inderawi
3. dunia manusia adalah dunia simbolis setiap wujud yang inderawi dalam hidup manusia adalah symbol yang merefleksikan makna-makna
4. mengkaji institusi sosial tidak akan cukup berhasil jika dilakukan hanya dengan mempelajari data tentang perilaku atau pola perilaku sosial dengan menggunakan indicator-indikator variabel
5. realitas sosial terbenam dalam relung alam kesadaran manusia yang simbolisme penuh makna
6. manusia dipandang sebagai makhluk sosial yang sehari-hari bukanlah “berperilaku” (behavior) tetapi “bertindak” (action). Istilah perilaku konotasinya mekanistik dan otomatis padahal tingkah laku sosial manusia selalu melibatkan niat, kesadaran dan alasan tertentu. Ia melibatkan makna dan interpretasi yang tersimpan dalam diri sebagai pelaku tindakan.
7. realitas sosial bersifat “maknawi” bergantung pada makna yang diberikan untuk manusia yang memandangnya
8. suatu objek, keadaan, kondisi situasi atau apa saja dalam kenyataan sosial bisa memiliki makna beraneka ragam. Karenanya, satu fakta beribu makna. Misal, pertandingan sepak bola di Gelora Sepuluh Nopember akan bermakna kesempatan melihat keterampilan mengocek bola bagi pecandu bola, tetapi kalangan pencopet akan memaknainya sebagai kesempatan emas untuk beraksi, lain lagi dengan para calo karcis. Demikian pula makna pertandingan sepak bola tersebut bagi juru parkir.
9. oleh sebab itu memahami realitas sosial harus memahami dunia makna yang tersimpan dalam diri perilaku




Tidak ada komentar:

Posting Komentar